BAGIAN PERTAMA
STUDI SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
A. Studi Sejarah Pendidikan Islam
Secara etimologis perkataan “sejarah” yang dalam bahasa Arab disebut tarikh, sirah atau ilmu tarikh yang berarti ketentuan masa lampau. Sedangkan secara terminologi sejarah adalah keterangan yang telah terjadi pada masa lampau.
Sedangkan pendidikan Islam menurut Prof Dr. Omar Muhammad adalah usaha mengubah tingkah laku sendiri dan kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam.
Bila dirangkaikan kata sejarah dengan kata pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
Catatatan peristiwa tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari sejak lahirnya hingga sekarang ini. Satu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi gagasan atau ide-ide, konsep lembaga maupun operarionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini.
B. Obyek dan Metode Sejarah Pendidikan Islam
1. Obyek Sejarah Pendidikan Islam
Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandangan atau fakta atau kejadian tentang peradaban suatu bangsa, maka obyek sejarah pendidikan Islam mencakup fakta-fakta yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam baik informal, formal maupun non formal.
2. Metode Sejarah Pendidikan Islam
Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisasi secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, yaitu diperoleh melalui proses yang disebut historiografi (penulisan sejarah). Mengenai metode yang dipergunakan dalam penggalian dan penulisan sejarah pendidikan Islam itu sendiri ada bermacam-macam, Untuk penggalian sejarah umumnya menggunakan metode, yaitu:
a. Metode lisan
b. Metode Observasi
c. Metode Dokumentar
Sedangkan dalam rangka penulisan sejarah pendidikan Islam menggunakan metode:
Metode diskriftif, dalam metode ini digambarkan pendidikan Islam, yaitu ajaran yang dibawa Rasulullah SAW dalam al-Qur’an dan Hadist yang berhubungan dengan pendidikan, diuraikan sebagaimana adanya, dengan tujuan untuk memahami makna yang terkandung dalam syariat Islam tersebut.
Metode koperatif, dalam metode ini berusaha membandingkan sebuah perkembangan pendidikan Islam dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Metode analisis sintesis, dalam metode ini pendidikan Islam dilihat secara kritis, analisis dan bahasan yang luas serta ada kesimpulan yang spesifik sehingga tampak adanya kelebihan dan kekhasan pendidikan Islam.
C. Kegunaan Sejarah Pendidikan Islam
Pada dasarnya kegunaan sejarah pendidikan Islam ada dua, yaitu:
1- Bersifat Umum, yaitu sebagai faktor keteladanan
2- Bersifat khusus, yaitu berguna dalam bidang akademis, karena kedudukan sejarah pendidikan Islam selain untuk perbendaharaan perkembangan ilmu pengetahuan juga dalam rangka menumbuhkan persfektif baru dalam usaha mencari relevansi pendidikan Islam terhadap segala bentuk pertumbuhan dan perkembangan Iptek.
D. Periodisasi Sejarah Pendidikan Islam
Secara garis besar Harun Nasutioan membagi sejarah Islam kepada tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern.
Kemudian periodisasi sejarah pendidikan Islam itu sendiri adalah:
- Masa pertumbuhan dan perkembangan Pendidikan Islam, yaitu sejak masa Rasulullah SAW, masa Khulafaurrasyidin dan masa Umayyah.
- Masa kejayaan pendidikan Islam, yaitu berlangsung sejak pemerintahan Daulah Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang ditandai dengan perkembangan dan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
- Masa kemunduran pendidikan Islam, yaitu berlangsung sejak jatuhnya kota bagdad sampai jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekitar abad 18 M yang ditandai dengan lemahnya kebudayan Islam dan berpindahnya pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke barat.
- Masa Pembaharuan pendidikan Islam, berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon di akhir abad ke 18 M sampai sekarang.
BAGIAN II
MASA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidikan Masa Rasulullah SAW
1. Fase Mekkah
Awal terjadinya pendidikan Islam semenjak Muhammad diangkat menjadi rasul pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari usia beliau, bertepatan tanggal 6 Agustus 610 M. Ayat yang pertama turun adalah QS al-a’alaq: ayat 1-5. Kira-kira 3 ½ tahun lamanya sesudah menerima wahyu yang pertama barulah Rasulullah menerima wahyu yang kedua, yaitu QS al-Muddatstsir: ayat 1-7.
Masyarakat Mekkah pada waktu Rasulullah dlahirkan dikenal dengan masyarakat jahiliyah. Kepercayaan agama mereka adalah berpegang teguh dengan tradisi nenek moyang mereka, yaitu menyembah berhala.
Adapun misi Nabi adalah menciptakan kembali masyarakat yang mengabdi kepada Allah SWT semata dan menegakkan keadilan serta kebenaran yang menyeluruh.
Semula usaha kegiatan seruan Rasulullah SAW tidak dihiraukan oleh pemimpin-peminpin Quraisy. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1- Persaingan kekuasaan, kaum Quraisy tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
2- Persamaan hak antara kasta bangsawan dan kasta hamba sahaya yang dilakukan Rasulullah SAW.
3- Takut dibangkitkan
4- Taklid kepada nenek moyang secara membabi buta.
5- Memperniagakan patung. Agama Islam melarang menyembah, memahat dan menjual patung. Karena itu saudagar-saudagar patung memandang agama Islam sebagai penghalang rezeki.
Pelaksanaan pembinaan pendidikan Islam yang dilakukan Nabi bertahap-tahap, adapun tahapan-tahapan tersebut adalah :
a. Pendidikan perorangan yang dilakukan secara Rahasia
Setelah menerima wahyu kedua Rasulullah SAW memulai tugasnya yang dihadapkan kepada keluarga dan para sahabat beliau yang paling dekat. Adapun materi yang diberikan adalah ayat-ayat dari kedua wahyu yang telah beliau terima itu.
Pendidikan yang pertama dilakukan Rasulullah SAW pada saat ini adalah pembentukan pribadi muslim yang dibina untuk menjadi kader-kader muslim yang bersemangat, memiliki jiwa mental yang kuat serta tangguh dari segala cobaan ; yang mana kelak diharapkan menjadi unsur bagi pembentukan masyarakat Islam dan muballig atau pendidik yang baik yang menjadi contoh teladan bagi murid-muridnya.
Karena pendidikan yang dilakukan Rasulullah SAW kepada sahabatnya masih secara perorangan dan bersifat rahasia, maka beliau kemudian memilih rumah al-Arqam sebagai markas pusat pendidikan bagi kaum muslimin itu. Rasulullah SAW memilih tempat ini, selain disebabkan karena kesetiaan al-Arqam kepada Rasul dan Islam, juga letaknya sangat baik karena terlindung dari penglihatan kaum Quraisy sehingga akan memberikan keamanan dan ketenangan bagi kaum muslimin.
b. Menyeru dan Mengajak Bani Abdul Muthalib ke dalam Islam
Setiap langkah dan kegiatan Nabi dalam menyeru dan mengajak umat manusia kepada Islam adalah sesuai dengan dan menurut rencana Tuhan. Setelah turun wahyu QS. as-Syu’ara : 214-215.
Artinya : Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabat (famili-famili) mu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang pengikutmu, yaitu orang-orang yang beriman.
Seruan dan ajakan nabi ini disambut dan dibenarkan dengan baik oleh sebagian mereka dan sebagian lagi mendustakannya terutama Abu Lahab paman nabi sendiri beserta istrinya sangat menentangnya. Tahap ini adalah tahap permulaan seruan dan ajakan secara terang-terangan kepada agama baru itu.
Perintah seruan dan ajakan secara terang-terangan ini sesuai dengan kenyataan bahwa sahabat Rasulullah SAW sudah bertambah banyak, mereka merasa tidak perlu takut terhadap gangguan dan ancaman kaum Quraisy. Disamping itu mereka yang akan masuk Islam pun masih banyak. Karena itu seruan dan ajakan secara terbatas dan rahasia itu sudah tak mungkin lagi dilaksanakan. Selain itu tempat pertemuan yang biasa dilakukan di rumah Al-Arqam pun sudah diketahui pula oleh kaum musyrikin.
c. Seruan dan Ajakan Umum
Setelah ajakan dan seruan yang disampaikan kepada Bani Abdul Muthalib tidak memperoleh hasil seperti yang diharapkan, maka Nabi Muhammad SAW pun beserta sahabatnya meningkatkan usaha dan kegiatannya. Usaha meningkatkan kegiatannya itu pun didasarkan pada rencana Allah SWT pula, sebagaimana terdapat dalam QS. al-hijr : 94-95.
Artinya : Maka sampaikanlah olehmu apa yang telah diperintahkan kepadamu secara tegas (terang-terangan), dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan kamu.
Sesudah ayat ini turun, maka Rasulullah SAW pun mulai menyeru dan mengajak seluruh lapisan manusia agar memeluk agama Islam. Seruan Nabi tidak terbatas kepada orang-orang Mekkah atau Quraisyi tapi juga kepada orang-orang dari luar Mekkah terutama pada musim haji.
Akan tetapi seruan untuk mengembalikan kaum Quraisy kepada ajaran tauhid untuk sementara belum berhasil. Bahkan mereka selalu membuat perlawanan kepada Nabi Muhammad SAW supaya menghentikan dakwahnya. Melihat kondisi yang demikian mendorong nabi untuk berhijrah yaitu ke Madinah.
2. Fase Madinah
Pendidikan Islam di Madinah pada dasarnya merupakan lanjutan dari pendidikan di Mekkah. Pada fase Mekkah ciri pembinaan pendidikan Islam adalah pendidikan tauhid, sedangkan pada fase Madinah ciri pokok pembinaan pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik.
Pendidikan fase Madinah apabila dirumuskan adalah sebagai berikut:
1- Pendidikan sosial politik dengan mewujudkan masyarakat yang baru.
2- Pendidikan keagamaan.
3- Pendidikan keluarga.
4- Pendidikan dakwah.
5- Pendidikan pertahanan keagamaan.
B. Pendidikan Islam Pada Masa al-Khulafaur-rasyidin
Kalau masa Rasulullah SAW dianggap sebagai masa penyemaian nilai kebudayaan Islam ke dalam sistem budaya bangsa arab pada masa itu, dengan meluasnya ajaran Islam yang mempunyai sistem budaya yang berbeda-beda, maka pendidikan Islam masa Khulafaurrasyidin ini perlu penanaman nilai dan kebudayaan Islam agar tumbuh dengan subur. Adapun pendidikan masa khulafaurrasyidin ini :
1. Masa Khalifah Abu Bakar (11-13 H/ 632-634 M)
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar menghadapi masalah ummat yang cukup serius, yang harus diselesaikan dengan cara yang tegas dan pasti. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi Abu Bakar itu sebagai berikut :
- Kaum murtad
- Orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi beserta para pendukungnya
- Kaum yang tidak mau membayar zakat.
Adapun sebab-sebab mereka berbuat demikian adalah :
- Ajaran Islam belum dipahami benar
- Motivasi Islamnya bukan karena kesadaran dan keinsyafan iman yang sungguh-sungguh tapi karena pertimbangan politik dan ekonomi.
- Rasa kesukuan yang mendalam, mereka menganggap Islam menempatkan mereka dibawah kekuasaan bangsa Quraisy.
- Kesalahan memahami ayat-ayat al-Qur’an yang menimbulkan anggapan bahwa dengan wafatnya Rasulullah SAW mereka tidak mempunyai kewajiban melaksanakan ajaran agama Islam.
- Dalam menghadapi kaum pemberontak ini, terlebih dahulu mereka dikirimi surat dengan maksud untuk menyadarkan kembali kepada jalan yang benar. Akan tetapi para pemberontak itu tetap membangkang, makanya Abu Bakar memeranginya.
Masa pemerintahan Abu Bakar tidak lama, tapi beliau telah berhasil memberikan dasar-dasar kekuatan bagi perjuangan perluasan da’wah dan pendidikan Islam.
2. Masa Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
Setelah Abu Bakar wafat, kemudian digantikan oleh Umar bin Khattab. Usaha memperluas wilayah Islam yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dilanjutkan oleh Umar dengan hasil yang gemilang. Wilayah pada masa Umar meliputi Iraq, Persia, Syam, Mesir dan Barqah. Bangsa-bangsa tersebut sebelum Islam masuk ke negaranya telah memiliki kebudayaan dan peradaban lama.
Meluasnya wilayah Islam mengakibatkan meluas pula kebutuhan kehidupan dalam segala bidang. Keteraturan dalam bidang pemerintahan dan segala perlengkapannya memerlukan pemikiran yang sangat serius. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan tenaga manusia yang memiliki ketrampilan dan keahlian yang memadai bagi kelancaran roda pemerintahan itu sendiri. Ini berarti peranan pendidikan harus menampilkan dirinya.
Semangat berda’wah dan pendidikan dari kaum muslimin yang berada di daerah-daerah baru menunjukkan kekuatan yang sangat tinggi. Thomas W. Arnold mengatakan ketentuan-ketentuan khusus mengenai metode dan materi pendidikan dan pengajaran agama bagi para penduduk yang baru masuk Islam segera disusun, demi mencegah kesimpang siuran pemahaman agama, baik yang menyangkut dasar-dasar pokok iman maupun mengenai ibadah dan muamalah. Langkah-langkah pencegahan ini perlu, mengingat derasnya arus penduduk yang berbondong-bondong masuk Islam. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk setiap negeri, yang bertugas mengajarkan kepada penduduk setempat tentang isi al-Qur’an dan soal-soal lain yang berhubungan dengan masalah agama.
Pada masa ini bahasa arab mulai menampakkan dirinya sebagai bahasa linguage franka dalam wilayah Islam, selain digunakan sebagai alat komunikasi juga sebagai alat pemahaman al-Qur’an dan agama Islam pada umumnya serta pemersatu kesatu paduan ummat. Dengan demikian kebudayaan Islam mulai terbina.
3. Masa Khalifah Usman bin Affan (23-35 H / 644-656 M)
Dalam menjalankan tugas kepiminpinannya Usman bin Affan banyak menghadapi masalah politik yang sangat gawat. Masa enam tahun pertama kebijaksanaannya nampak baik, tapi masa enam tahun terakhir kelemahan-kelemahan pribadinya mulai nampak, sehingga berdampak negatif bagi pemerintahannya.
Kegiatan pendidikan yang paling besar yang dilakukan Usman bin Affan adalah menyalin sebuah mushaf sebagai rujukan umat Islam yang disebut dengan mushaf usmani karena sebelumnya sudah terjadi perselisihan dalam hal bacaan al-Qur’an.
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan tugas mendidik dan mengajar umat diserahkan kepada umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat dan menggaji guru-guru / pendidik. Sedang para pendidik sendiri melaksanakan tugasnya itu hanya dengan mengharapkan keridhoan Allah semata.
Mata pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Ada fase pembinaan, pendidikan dan pelajaran. Dalam fase pembinaan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan agar peserta didik memperoleh kemantapan iman, sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah SAW. Dalam fase pendidikan lebih ditekankan pada ilmu-ilmu praktis, dengan maksud agar mereka dapat segera mengamalkan ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Pelajaran-pelajaran lain yang sangat penting untuk menunjang pemahaman al-Qur’an dan Hadis juga diberikan seperti pelajaran bahasa arab, menulis, membaca, tata bahasa, syair dan pribahasa.
Tempat belajar masih seperti sebelumnya, mereka belajar di kuttab, di mesjid atau di rumah-rumah yang mereka sediakan sendiri atau ke rumah gurunya.
Demikian sarana dan wahana pendidikan pada masa Usman bin Affan, ia melanjutkan apa yang telah ada. Dia sendiri lebih sibuk menghadapi masalah pemerintahannya.
4. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/ 656-661 M)
Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib diisi dengan kekacauan dikalangan umat Islam sendiri. Sampai-sampai Prof Dr Ahmad Shalabi mengatakan “sebetulnya tidak pernah ada barang satu hari pun, keadaan stabil selama pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Karena itu dapat diduga bahwa kegiatan pendidikan pun saat itu mendapat gangguan dan hambatan, terhambat karena adanya perang saudara. Stabilitas dan keamanan sosial merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya perkembangan dan pembangunan dalam segala bidang kehidupan masyarakat itu sendiri baik ekonomi, politik, sosial budaya maupun pengembangan intelektual dan agama.
Ali sendiri pada saat itu, tidak sempat memikirkan masalah pendidikan, karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada masalah yang lebih penting dan mendesak, yaitu keamanan dan ketentraman dalam segala kegiatan kehidupan, yakni mempersatukan kembali umat Islam. Akan tetapi sayang, Ali belum sempat meraihnya.
C. Pendidikan Islam Masa Umayyah (41-132 H / 661-750 M).
Tewasnya Khalifah Ali bin Abi Thalib memberi kesempatan dan peluang yang baik bagi naiknya Muawiyah menduduki jabatan khalifah, yang telah menjadi idamannya semenjak Usman bin Affan menjabat khalifah.
Naiknya Muawiyah menjadi kholifah berarti sistem baru dalam ke-kholifahan dimulai. Penggantian kholifah tidak dipilih seperti kholifah-kholifah sebelumnya, akan tetapi diwariskan kepada keturunannya.
Dalam mengendalikan pemerintahannya Muawiyah hampir seluruh perhatiannya ditujukan kepada masalah politik dan keamanan. Percaturan politik dan gerakan-gerakan militer yang terjadi pada masa ini, baik dalam usaha perluasan wilayah Islam maupun dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan, menimbulkan pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang alam pikiran.
1. Tempat dan Lembaga Pendidikan
Awal kegiatan intelektual kaum muslimin lebih menonjol dalam bidang hukum daripada teologi. Dalam periode Daulah Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu:
Pendidikan khusus, yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan anak-anak para pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan.
Pendidikan umum, Pendidikan diperuntukkan bagi rakyat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi masih hidup, ia merupakan sarana yang sangat penting bagi kehidupan agama.
Adapun bentuk-bentuk pendidikan pada masa ini adalah :
a. Pendidikan keluarga
Pendidikan Islam mengenal paham pendidikan seumur hidup. Kurikulum pertama bagi anak adalah pengalaman-pengalaman yang dialami dan disaksikan sendiri dalam lingkunagn rumahnya.
b. Kuttab
Kuttab ini adalah lanjutan dari pendidikan keluarga. Sebagai lembaga pendidikan dasar, kuttab telah tersebar di seluruh wilayah Islam, tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan dari pemerintahan.
c. Mesjid
Peranan mesjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya cakap dan mampu mengajarkan ilmunya kepada orang yang haus ilmu pengetahuan.
Dalam mesjid ada dua tingkatan sekolah, yaitu :
Tingkat menengah, Pelajaran yang diberikan dalam tingkat menengah ini dilakukan secara perorangan. Adapun mata pelajarannya adalah al-Qur’an dan tafsirnya, hadist dan fiqh.
Tingkat perguruan tinggi. Pada tingkat perguruan tinggi ini dilakukan secara halaqah. Adapun mata pelajarannya adalah tafsir, hadist, fiqh dan syariat Islam.
d. Majlis sastra
Majlis sastra ini merupakan gelanggang pembahasan situasi politik dan jalannya roda pemerintahan serta pengembangan ilmu pengetahuan, juga sebagai sarana rekreasi dan kebanggaan kalangan atas.
2. Semangat Ilmu Pengetahuan
Rasa haus kaum muslimin terhadap ilmu pengetahuan jelas nampak dalam usahanya mengembangkan ilmu agama dan bahasa, disamping itu perhatian mereka terhadap perpustakaan telah mulai muncul. Mereka juga dihadapkan pada ilmu-ilmu lama yang telah dimiliki bangsa-bangsa yang sudah berkebudayaan dan berperadaban tinggi, hal ini membangkitkan kegiatan usaha menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani, Qibti, Persia dan India ke dalam bahasa arab.
3. Semangat Ijtihad
Sarana pendidikan menunjukkan kemajuan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, yakni zaman khulafaurrasyidin. Materi dan objek ilmu semakin meluas dan bercabang. Disamping itu rasa haus akan ilmu pengetahuan dan dorongan-dorongan untuk memecahkan persoalan-persoalan baru yang belum ada contohnya dari Rasulullah SAW membangkitkan usaha pengembangan dari ilmu itu sendiri guna memenuhi kebutuhan mereka pada zamannya. Mereka terus belajar dan berijtihad.
BAGIAN III
MASA KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Latar Belakang Sosial Politik
Daulah Abbasiyah didirikan pada tahun 130 H (750 M), dengan khalifah pertamanya adalah Abu Abbas as-Shaffat. Daulah Abbasiyah ini berkuasa sampai tahun 656 H (1258 M) dengan 37 orang khalifah silih berganti.
Pada priode pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi, karena pada masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.
Selain dalam bidang perekonomian, bidang industri pun mengalami peningkatan dengan pesat yaitu seperti industri kertas sebagaimana yang dibuat oleh China telah dapat diusahakan pada masa Harun al-Rasyid.
Dengan demikian, kertas yang berlimpah itu telah ikut memacu perkembangan. Kemantapan dalam bidang politik memungkinkan ekonomi yang berkembang dengan pesat pembangunan dalam segala bidang, baik pertahanan ataupun industri dan perdagangan meningkat luar biasa sehingga dana yang meningkat dan melimpah ruah itu menunjang pengembangan ilmu. Bahan pengetahuan, baik tentang agama atau bukan, yang tersimpan dalam ingatan ataupun tercatat dalam lembaran telah cukup banyak, hal ini mendorong untuk segera diadakan penulisan ilmu secara lebih sistematis. Sehingga pada masa Khalifah al-Ma’mun yang dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu mengadakan penerjemahan buku-buku asing secara besar-besaran. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah dari Kristen dan penganut agama lain yang ahli.
Dari pertikasi antara golongan diantara umat Islam dan non Islam telah ikut pula merangsang kesungguhan para ulama untuk menekuni bidang ilmu. Dan al-Ma’mun juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
B. Berkembangnya Lembaga-lembaga Pendidikan Islam
Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal dengan lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga yang bersifat nonformal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh berkembang bentuk-bentuk lembaga-lembaga pendidikan nonformal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak nonformal tersebut adalah:
a. Kuttab Sebagai Lembaga Pendidikan Dasar
Kuttab adalah tempat belajar menulis. Pada mulanya, diawal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersangkutan dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca. Sedangkan yang ditulis atau dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada masanya. Kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah, mulai timbul jenis kuttab yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama. Pada mulanya, kuttab jenis ini merupakan pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di mesjid, yang sifatnya umum (bukan saja bagi anak-anak, tetapi terutama bagi orang-orang dewasa). Dengan demikian, kuttab tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.
b. Pendidikan Rendah di Istana
Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab. Pada umumnya, di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut selaras dengan anak-anaknya dan tujuan yang dikehendaki orang tuanya (para pembesar di istana), sesuai dengan kebutuhan anaknya kelak sebagai calon pewaris kerajaan.
c. Toko-toko Kitab
Pada permulaan masa Daulah Bani Abbasiyah, dimana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual-beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, tetapi juga merupakan tempat berkumpul para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lain untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi, sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
d. Rumah-rumah Para Ulama (Ahli Ilmu Pengetahuan)
Rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Diantara rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, al-Ghazali, Ali Ibnu Muhammad al-Fashihi, Ya’qub Ibnu Killis, wazir Khalifah al-Aziz Billah.
e. Majlis atau Saloon Kesusastraan
Dengan majlis saloon kesusastraan, dimaksudkan adalah untuk majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Dalam majlis sastra tersebut, bukan hanya membahas dan mendiskusikan masalah-masalah kesusastraan saja, melainkan juga berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai kesenian. Pada masa Harun al-Rasyid (170-193 H), majlis sastra ini mengalami kamajuan yang luar biasa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai kecerdasan, sehingga khalifah sendiri aktif didalamnya. Sedangkan negara berada dalam kondisi yang aman, tenang dan dalam zaman pembangunan. Pada masanya sering diadakan perlombaan antar ahli-ahli syair, perdebatan antar fuqaha dan diskusi para sarjana berbagai macam ilmu pengetahuan.
f. Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi)
Sejak berkembang luasnya Islam dan bahasa Arab digunakan sehingga bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa diluar bangsa-bangsa Arab yang beragama Islam. Kalau di kota-kota, bahasa yang dipakai adalah bahasa pasaran dan campur baur dengan bahasa-bahasa lain. Ternyata kalau di badiah-badiah atau dusun-dusun tempat tinggal orang-orang Arab tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Oleh karena itu, khalifah-khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badiah-badiah ini untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni dan mempelajari pula syair-syair serta sastra Arab dari sumbernya yang asli.
g. Rumah Sakit
Pada masa jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan kesejahteraan dikalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh kahlifah dan pembesar-pembesar negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
h. Perpustakaan
Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Disamping itu, berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid adalah merupakan satu contoh perpustakaan Islam yang lengkap yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty dan Arany. Perpustakaan-pepustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya dikatakan sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan.
i. Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi Muhammad SAW mesjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi-informasi lainnya dan tempat menyelenggarakan pendidikan baik bagi anak-anak dan orang-orang dewasa.
Kemudian pada masa Khalifah Bani Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama mengajarkan ilmunya di mesjid. Tetapi, majlis khalifah berpindah ke mesjid atau ke tempat tersendiri. Mesjid-mesjid yang didirikan oleh para penguasa pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan.
C. Berdirinya Madrasah-madrasah
Madrasah adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam yang didirikan sebagai tempat belajar ilmu-ilmu keagamaan. Madrasah merupakan tempat pendidikan bagi anak/santri dan merupakan pendidikan tingkat lanjut. Madrasah dimaksudkan terutama untuk mengajarkan fiqih dan ilmu ilmu ke Islaman lainnya, filsafat dan satra juga diajarkan sebagai mata pelajaran pilihan.
Antara madrasah dengan lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya mempunyai perbedaan, dimana lembaga-lembaga pendidikan sebelum madrasah tidak diatur secara administratif, sedangkan madrasah memiliki administrasi yang terarur dan rapi sehingga pelaksanaan pendidikan mengikuti aturan yang diterapkan oleh pengelola madrasah.
D. Sarjana-sarjana Muslim
1. Al-Kindi
Al-Kindi atau nama lengkapnya ialah Abu Yusup Ya’qub Ibn Ishak Ibn al-Shaban Ibn Imran Ismail Ibn Muhammad Ibn al-Asyats Ibn Qais al-Kindi. Ia dilahirkan pada tahun 185 H atau 801 M di Kufah pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan wafat tahun 873 M. Al-Kindi dipandang sebagai salah seorang filosof muslim pertama yang lahir di dunia Islam dan dikenal sebagai filosof Islam yang bergelar “Filosof Arab”.
2. Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashir Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkam Ibnu Auzalagh al-Farabi, ia dilahirkan pada tahun 870 M (257 H) di desa Wasit, suatu daerah kota Farab, yaitu wilayah kekuasaan Turki.
Al-Farabi adalah seorang filosof muslim yang telah meninggalkan sejumlah tulisan yang penting, yang pada umumnya berupa risalah-risalah pendek dan kebanyakan karyanya merupakan terjemahan, komentar dan ulasan-ulasan dari karya Plato dan Aristoteles.
3. Ibnu Maskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khazin Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Maskawaih, Ia dilahirkan di Ray (sekarang Taheran) pada tahun 320 H / 532 M. Ia wafat pada tahun 421 H / 1030 M.
Perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesustraan amat besar. Pada masa inilah Ibn Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ahdud al-daulah, dan pada masa ini juga terkenal sebagai filosof, thabib, ilmuwan dan pujangga.
4. Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Husain Ibnu Abdillah Ibn Hasan Ibn Ali Ibn Sina. Di Eropa dikenal dengan nama Avi Cenna, ia lahir pada tahun 370 H / 980 H disuatu tempat yang bernama Afsyana di Bukhara. Dalam usia 10 tahun, ia banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal al-Qur’an seluruhnya.
Menjelang usia 17 tahun ia dikenal sebagai seorang ahli kedokteran, ia berhasil mengobati Pangeran Nuh Ibnu Manshur sehingga ia diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkunjung ke perpustakaan pangeran. Kesempatan itu digunakannya dengan sebaik-baiknya mengembangkan ilmu pengetahuannya / kemampuannya. Ibnu Sina banyak mengarang buku yang menurut catatan telah menulis 276, baik berupa buku maupun manuskrip.
E. Pendidikan Wanita
K. Hitti menandaskan bahwa anak-anak perempuan diperbolehkan mengikuti sekolah tingkat dasar. Fayyaz Mahmud juga menjelaskan bahwa pada masa Dinasti abbasiyah anak-anak perempuan juga mempunyai kesempatan untuk belajar di maktab-maktab.
Syalabi menyatakan bahwa wanita biasanya menerima pelajaran di rumah dari salah satu anggota keluarga yang khusus didatangkan untuk mereka. Adapun ilmu yang penting bagi kaum wanita adalah ilmu tentang akhlak, hubungan dengan sosial, atau muamalah dan kesehatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wanita telah diberi kesempatan untuk mengikuti kelas-kelas terbuka, tetapi wanita yang dapat merasakan kesempatan ini jumlahnya relatif sedikit.
KEPUSTAKAAN
Departemen Agama. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: IAIN, 1986.
Ramayulis & Sansul Nizar. Ensiklopedi tokoh Pendidikan Islam ( Ciputat: Quantum Teaching , 2005.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Yasin, Abu., Strategi Pendidikan Negara Khilafah, Thariqul Izzah: Surabaya, 2004.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Zuhairi Dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jakarta, 1997.