Oleh: Drs.A.Jalil Machmud,M.Pd.I
Guru (tenaga pendidik) yang efektif adalah mereka yang berhasil membawa peserta didik mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam pendidikan. Keberhasilan pembelajaran yang efektif memuat dua tolok ukur yakni tercapainya tujuan dan hasil pembelajaran. Untuk mencapai tingkat efektifitas pembelajaran, Guru harus menguasai berbagai ketrampilan dasar pembelajaran yang meliputi ketrampilan membuka dan menutup proses pembelajaran, ketrampilan menjelaskan, ketrampilan bertanya, ketrampilan menggunakan variasi, ketrampilan memberi penguatan, ketrampilan mengelola kelas dan ketrampilan membimbing diskusi kecil.
Untuk dapat menguasai berbagai ketrampilan dasar pengajaran dan pembelajaran tersebut maka guru perlu berlatih satu demi satu ketrampilan tersebut agar mendalami makna dan strategi penggunaannya
pada proses pembelajaran. Ketrampilan dasar mengajar dapat diperoleh melalui pembelajaran mikro atau micro teaching. Oleh karena itu pembelajaran mikro sangat diperlukan dalam bentuk peer teaching dengan harapan agar para guru dapat sekaligus menjadi observer temannya sesama guru, dengan harapan masing-masing guru dapat saling memberikan koreksi dan masukan untuk memperbaiki kekurangan penguasaan ketrampilan dasar dalam mengajar.
Pengajaran mikro telah dipraktikkan secara meluas dalam latihan keguruan di seluruh dunia sejak diperkenalkan di Stanford University oleh Dwight W. Allen, Robert Bush dan Kim Romney pada tahun 1950-an. Untuk dapat memahami micro teaching atau pembelajaran mikro bagi calon guru, dikemukakan beberapa asumsi dasar yaitu:
1. Pada umumnya guru tidak dilahirkan tetapi dibentuk terlebih dahulu.
2. Keberhasilan seseorang menguasai hal-hal yang lebih kompleks ditentukan oleh keberhasilannya menguasai hal-hal yang lebih sederhana sifatnya. Dengan terlebih dahulu menguasai berbagai ketrampilan dasar mengajar, maka akan dapat dilaksanakan kegiatan mengajar secara keseluruhan yang bersifat kompleks.
3. Dengan menyederhanakan situasi latihan maka perhatian dapat dilakukan sepenuhnya kepada pembinaan ketrampilan tertentu yang merupakan komponen kegiatan mengajar.
4. Dalam latihan-latihan yang sangat terbatas, calon guru lebih mudah mengontrol tingkah lakunya jika dibandingkan dengan mengajar secara global yang bersifat kompleks.
5. Dengan penyederhanaan situasi latihan, diharapkan akan memudahkan observasi yang lebih sistematis, obyektif serta pencatatan yang lebih teliti. Hasil dari observasi ini diharapkan dapat digunakan sebagi balikan calon guru tentang kekurangan yang dilakukan dan segera diketahui yang selanjutnya akan diperbaiki pada kesempatan latihan berikutnya.
Merujuk pada beberapa asumsi dasar pengajaran mikro dapat dikemukakan beberapa pengertian pengajaran mikro sebagai berikut:
1. Pengajaran mikro dirumuskan sebagai pengajaran dalam skala kecil atau mikro yang dirancang untuk mengembangkan ketrampilan baru dan memperbaiki ketrampilan yang lama.
2. Pengajaran mikro adalah metode latihan yang dirancang sedemikian rupa dengan jalan mengisolasi bagian-bagian komponen dari proses pengajaran sehingga calon gadik dapat menguasai ketrampilan satu per satu dalam situasi mengajar yang disederhanakan.
3. Micro teaching is effective method of learning to teach, oleh sebab itu micro teaching sama dengan teaching to teach dan atau learning to teach.
4. Mengikut Micheel J Wallace pengajaran mikro merupakan pengajaran yang disederhana-kan. Situasi pengajaran telah dikurangi lingkupnya, tugas guru dipermudah, mata pelajaran dipendekkan dan jumlah peserta didik dikecilkan.
Berpijak pada asumsi dasar dan pengertian pengajaran mikro tersebut, maka dapat disampaikan beberapa ciri pengajaran mikro:
1. Mikro dalam pengajaran mikro berarti pada skala kecil. Skala kecil berkaitan dengan ruang lingkup materi pelajaran, waktu, siswanya dan ketrampilannya.
2. Mikro dalam pengajaran dimak-nai sebagai bagian dari ketrampilan mengajar yang kompleks akan dipelajari lebih mendalam dan teliti bagian demi bagian.
3. Pengajaran mikro adalah pengajaran yang sebenarnya. Calon guru harus membuat persiapan pembelajaran, rencana pem-belajaran, melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat, mengelola kelas dan menyiapkan perangkat pembelajaran lainnya yang dapat mendukung proses belajar dan mengajar (PBM).
4. Pengajaran mikro pada hakekatnya adalah belajar yang sebenarnya. Ditinjau dari praktikan, calon gadik akan belajar bagaimana melakukan pembelajaran sedangkan teman yang jadi siswa akan dapat merasakan bagaimana gaya mengajar temannya dirasakan tepat dan tidaknya strategi pembelajaran yang dibuat.
5. Pengajaran mikro bukanlah simulasi. Dalam situasi mengajar teman sejawat, mereka tidak diperlakukan sebagaimana siswa didik akan tetapi mereka tetap menjadi teman yang sebenarnya dengan kedudukan sebagai siswa. Hal ini untuk menghindari perilaku teman sejawat yang dibuat-buat yang mengakibatkan tidak terkondisikan proses pembelajaran antar teman sejawat.
6. Pengajaran diharapkan dapat direkam sehingga hasil rekaman tersebut dapat dijadikan bahan diskusi antar teman untuk dikoreksi dan diberikan masukan guna perbaikan atas kekurangan praktikan/ calon guru.
Pengajaran mikro bertujuan membekali guru beberapa ketrampilan dasar mengajar dan pembelajaran. Bagi calon guru metode ini akan memberi pengalaman mengajar yang nyata dan latihan sejumlah ketrampilan dasar mengajar secara terpisah. Sedangkan bagi calon guru dapat mengembangkan ketrampilan dasar mengajarnya sebelum mereka melaksanakan tugas sebagai guru. Memberikan kemungkinan calon guru untuk mendapatkan bermacam ketrampilan dasar mengajar serta memahami kapan dan bagaimana menerapkan dalam program pembelajaran.
Bagi supervisor calon guru, metode ini akan memberikan penyegaran dalam program pendidikan. Tenaga pendidik/guru mendapatkan pengalaman mengajar pada calon tenaga didik yang bersifat individual demi perkembangan profesi.
Ketrampilan dasar mengajar.
Sebagai guru atau calon guru, penguasaan ketrampilan dasar mengajar menjadi salah satu persyaratan utama dalam proses pembelajaran disamping persyaratan yang lain. Ketrampilan dasar yang akan dipelajari adalah:
1. Ketrampilan membuka dan menutup pembelajaran.
Membuka pelajaran merupakan kegiatan guru dalam mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pembelajaran yang meliputi; kondisi menciptakan suasana siap mental peserta didik, menciptakan suasana komunikatif antara gadik dengan peserta didik, menimbulkan perhatian peserta didik kepada apa yang akan dipelajari dalam hal ini dapat diawali dari situasi keseharian peserta didik sampai pada materi yang akan dipelajari serta menumbuhkan motivasi belajar peserta didik.
Menutup pelajaran merupakan kegiatan guru mengakhiri kegiatan inti pengajaran. Dalam mengakhiri pelajaran ini, kegiatan yang dilakukan adalah memberikan gambaran menyeluruh semua materi yang telah dipelajari, mengadakan evaluasi untuk mengetahui tingkat penyerapan siswa terhadap materi dan mengetahui tingkat keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar.
2. Ketrampilan menjelaskan
Dimaknai sebagai ketrampilan guru menyajikan informasi lisan yang diorganisasikan secara sistematis dengan tujuan dapat menunjukkan hubungan antar materi yang telah dikumpulkan dan dikuasai serta disiapkan untuk disajikan. Selain dari itu penekanan memberikan penjelasan merupakan proses penalaran peserta didik dan bukan indoktrinasi. Penyajian informasi secara lisan, terencana, disajikan secara sistematis sesuai materi yang diperlukan dan tingkat kemampuan siswa-siswi.
3. Ketrampilan bertanya
Adalah ucapan guru secara verbal yang meminta respon dari peserta didik. Respon yang diberikan dapat berupa pengetahuan sampai dengan hal-hal yang merupakan hasil pertimbangan. Dengan demikian bertanya merupakan stimulus efektif yang mendorong kemampuan berpikir peserta didik. Guru hendaknya trampil dalam bertanya dengan memberikan pertanyaan yang singkat dan jelas serta memenuhi unsur-unsur lain seperti pemberian waktu berfikir, pemindahan giliran kepada peserta didik, pemberian acuan serta pemusatan pertanyaan.
4. Ketrampilan menggunakan variasi mengajar
Diartikan sebagai perbuatan guru dalam konteks proses belajar mengajar yang bertujuan mengatasi kebosanan peserta didik sehingga dalam proses belajar mengajar, peserta didik senantiasa menunjukkan ketekunan, keantusiasan serta berperan serta secara aktif. Ketrampilan yang disyaratkan dalam variasi mengajar antara lain variasi dalam hal gerakan, suara, pemusatan perhatian, pergantian posisi dan memelihara kontak pandang serta variasi dalam penggunaan media.
5. Ketrampilan memberi penguatan
Merupakan tingkah laku guru dalam merespon secara positif suatu tingkah laku tertentu peserta didik yang memungkinkan tingkah laku tersebut terulang kembali. Memberi penguatan bisa dilakukan guru dengan cara verbal (seperti dengan kata-kata dan kalimat tertentu) dan non verbal (seperti dengan mimik, anggukan, senyuman, kegiatan yang menyenangkan murid maupun dengan simbol atau angka)
6. Ketrampilan mengelola kelas
Merupakan ketrampilan guru menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya ke kondisi optimal jika terjadi yang dimungkinkan dapat mengganggu kegiatan, baik dengan cara mendisiplinkan ataupun melakukan kegiatan yang dapat mencipatakan suasana belajar yang efektif dan kondusif, antara lain dengan mengorganisasikan kelas, mengendalikan prilaku murid yang menyimpang serta dengan menggerakkan murid kepada pencapaian tujuan belajar.
7. Ketrampilan membimbing diskusi kelompok kecil
Adalah suatu proses yang teratur dengan melibatkan sekelompok peserta didik dalam interaksi tatap muka kooperatif yang optimal dengan tujuan berbagai informasi atau pengalaman mengambil keputusan atau memecahkan suatu masalah.
Skenario Pengajaran Mikro
Skenario pengajaran mikro dibuat dan dirancang langkah demi langkah. Hal ini agar dapat menjadi rambu-rambu dalam pelaksanaannya untuk menghindari dan mengantisipasi hal-hal yang dapat mengganggu jalannya pengajaran mikro. Secara garis besar skenario kegiatan pengajaran mikro dapat dikelompokkan dalam tiga tahapan yaitu:
1. Tahap pertama (tahap kognitif).
Tahap pertama diharapkan praktikan sudah terbimbing memahami dan mendalami serta gambaran secara umum konsep dan makna ketrampilan dasar mengajar dalam proses belajar mengajar, menggunakan secara tepat, mensinergikan ketrampilan satu dan lainnya serta ketepatan kapan dan dalam kondisi yang bagaimana ketrampilan satu dan lainnya digunakan. Selain dari itu diharapkan praktikan dapat mensinergikan pengeta-huan mereka untuk digunakan pada realita pengajaran yang dipadukan dengan ketrampilan dasar mengajar.
2. Tahap kedua (tahap praktik)
Ini diharapkan praktikan secara nyata mempraktekan ketrampilan dasar mengajar secara berulang, dengan harapan jika praktikan sudah berulang kali melakukan praktek akan mengetahui kekurangannya pada ketrampilan yang mereka belajar untuk dikuasai dan terampil menggunakannya dalam proses belajar mengajar. Pada tahapan ini praktikan sudah dapat mempersiapkan perangkat pembelajaran mulai dari RPP, media yang akan digunakan dan segala sesuatu yang dipersyaratkan bagi guru yang profesional di masa mendatang.
3. Tahap ketiga (tahap balikan).
Tahap ketiga ini merupakan kilas balik praktikan dengan mem-pelajari hasil dari observasi teman sejawat yang akan memberikan informasi setelah melihat secara langsung pelaksanaan kegiatan mengajar praktikan. Para rekan sejawat akan memberikan penilaian berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan praktikan yang selanjutnya akan didiskusikan dan sebagai bahan untuk memperbaiki kinerja sebagai guru yang profesional.
Materi kuliah dan info khusus bagi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIM NU Metro Lampung
Senin, 02 Mei 2011
Pengelolaan Kelas yang Efektif
Oleh : Drs. Abdul Jalil Machmud, M.Pd.I
A. Pendahuluan
Dalam proses pembelajaran penguasaan pengetahuan dan keterampilan hidup yang dibutuhkan siswa dalam menghadapi kehidupan rill adalah merupakan tujuan pendidikan, tetapi dalam proses pembelajaran di kelas bagaiamana siswa dapat menguasai dan memahami bahan ajar secara tuntas masih merupakan masalah yang sulit. Hal tersebut dikarenakan bahwa dalam satu kelas para siswa adalah merupakan makhluk sosial yang mempunyai latar belakang yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari aspek kecerdasan, pisikologis, biologis.
Dari perbedaan tersebut dapat menimbulkan beragamnya sikap dan anak didik di dalam kelas. Menjadi tugas guru bagaiman menjadikan keanekaragaman karakteristik siswa tersebut dapat manjadi kekuatan / support agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Hal itu merupakan tugas bagi guru agar dalam mengelola kelas dapat dilakukan dengan perencanaan yang baik. Keterampilan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran tidak hanya tertuang dalam penguasaan bahan ajar atau penggunaan metode pembelajaran, tetapi proses pembelajaran yang baik akan dipengaruhi pula oleh iklim belajar yang kondusif atau memaksimalkan peran dan fungsi yang berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang.
Banyaknya keluhan guru karena sukarnya mengelola kelas sehingga tujuan pembelajaran sukar untuk dicapai, hal ini kiranya tidak perlu terjadi apabila ada usaha yang dapat dilakukan oleh guru dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif dan maksimal. Misalnya penataan ruang kelas berupa pengaturan/ penataan tempat duduk yang sesuai dengan kegiatan yang sedang berlangsung.
Pengelolaan kelas yang baik akan melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Dengan tercapainya tujuan pembelajaran, maka dapat dikatakan bahwa guru telah berhasil dalam mengajar. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dapat diketahui setelah diadakan evaluasi dengan seperangkat item soal yang sesuai dengan rumusan tujuan pembelajaran.
Dari permasalahan tersebut maka kiranya perlu bagi guru atau calon pengajar mengetahui dan memahami tentang pengelolaan kelas yang efektif, salah satunya yaitu pengaturan ruangan kelas berupa penataan tempat duduk siswa.
B. Pengertian Pengelolaan Kelas
Menurut Winataputra (2003), menyatakan bahwa pengelolaan kelas adalah serangkaian kegiatan guru yang ditujukan untuk mendorong munculnya tingkah laku siswa yang diharapkan dan menghilangkan tingkah laku siswa yang tidak diharapkan, menciptakan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosoi- emosional yang positif , serta menciptakan dan memelihara organisasi kelas yang produktif dan efektif.
Pengelolaan kelas lebih berkaitan dengan upaya-upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar (pembinaan report, penghentian perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas oleh peserta didik secara tepat waktu, penetapan norma kelompok yang produktif), didalamnya mencakup pengaturan orang peserta didik) dan fasilitas.
Dan menurut Winzer (Winataputra, 1003: 99) menyatakan bahwa pengelolaan kelas adalah cara-cara yang ditempuh guru dalam menciptakan lingkungan kelas agar tidak terjadi kekacauan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai tujuan akademis dan sosial.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru yang ditujukan untuk menciptakan kondisi kelas yang memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan maksimal. Pengelolaan kelas ditekankan pada aspek pengaturan (management) lingkungan pembelajaran yaitu berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang/ fasilitas. Kegiatan guru tersebut dapat berupa pengaturan kondisi dan fasilitas yang berada di dalam kelas yang diperlukan dalam proses pembelajaran diantaranya tempat duduk, perlengkapan dan bahan ajar, lingkungan kelas (cahaya, temperatur udara, ventilasi) dll.
C. Penataan Ruang Kelas
Pembelajaran yang efektif dapat bermula dari iklim kelas yang dapat menciptakan suasana belajar yang menggairahkan, untuk itu perlu diperhatikan pengaturan/ penataan ruang kelas dan isinya, selama proses pembelajaran. Lingkungan kelas perlu ditata dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang aktif antara siswa dengan guru, dan antar siswa. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru dalam menata lingkungan fisik kelas menurut Loisell (Winataputra, 2003: 9.22) yaitu:
1. Visibility ( Keleluasaan Pandangan)
Visibility artinya penempatan dan penataan barang-barang di dalam kelas tidak mengganggu pandangan siswa, sehingga siswa secara leluasa dapat memandang guru, benda atau kegiatan yang sedang berlangsung. Begitu pula guru harus dapat memandang semua siswa kegiatan pembelajaran.
2. Accesibility (mudah dicapai)
Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk harus cukup untuk dilalui oleh siswa sehingga siswa dapat bergerak dengan mudah dan tidak mengganggu siswa lain yang sedang bekerja.
3. Fleksibilitas (Keluwesan)
Barang-barang di dalam kelas hendaknya mudah ditata dan dipindahkan yang disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran. Seperti penataan tempat duduk yang perlu dirubah jika proses pembelajaran menggunakan metode diskusi, dan kerja kelompok.
4. Kenyamanan
Kenyamanan disini berkenaan dengan temperatur ruangan, cahaya, suara, dan kepadatan kelas.
5. Keindahan
Prinsip keindahan ini berkenaan dengan usaha guru menata ruang kelas yang menyenangkan dan kondusif bagi kegiatan belajar. Ruangan kelas yang indah dan menyenangkan dapat berengaruh positif pada sikap dan tingkah laku siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
Penyusunan dan pengaturan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak duduk bekelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa untuk membantu dan memantau tingkah laku siswa dalam belajar. Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal berikut perlu diperhatikan yaitu:
• Ukuran bentuk kelas
• Bentuk serta ukuran bangku dan meja
• Jumlah siswa dalam kelas
• Jumlah siswa dalam setiap kelompok
• Jumlah kelompok dalam kelas
• Komposisi siswa dalam kelompok (seperti siswa yang pandai dan kurang pandai, pria dan wanita).
Berkaitan dengan penataan ruang kelas belajar maka pada penulisan makalah ini hanya berkaitan dengan pengelolaan kelas berupa penempatan tempat duduk siswa saja.
D. Tempat Duduk Siswa
Tempat duduk merupakan fasilitas atau barang yang diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran terutama dalam proses belajar di kelas di sekolah formal.tempat duduk dapat mempengaruhi proses pembelajaran siswa, bila tempat duduknya bagus, tidak terlalu rendah, tidak terlalu besar, bundar, persegi empat panjang, sesuai dengan keadaan tubuh siswa. Maka siswa akan merasa nyaman dan dapat belajar dengan tenang.
Bentuk dan ukuran tempat yang digunakan bermacam-macam, ada yang satu tempat duduk dapat di duduki oleh seorang siswa, dan satu tempat yang diduduki oleh beberapa orang siswa. Sebaiknya tempat duduk siswa itu mudah di ubah-ubah formasinya yang disesuaikan dengan kebutuhan kegiatan pembelajaran. Untuk ukuran tempat dudukpun sebaiknya tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil sehingga mudah untuk diubah-ubah dan juga harus disesuaikan dengan ukuran bentuk kelas.
Sebenarnya banyak macam posisi tempat duduk yang bias digunakan di dalam kelas seperti berjejer ke belakang, bentuk setengah lingkaran, berhadapan, dan sebagainga. Biasanya posisi tempat duduk berjejer kebelakang digunakandalam kelas dengan metode belajar ceramah. Dan untuk metode diskusi dapat menggunakan posisi setengah lingkaran atau berhadapan. Dan sebagai alternatif penataan tempat duduk dengan metode kerja kelompok atau bahkan bentuk pembelajaran kooperatif, maka ada beberapa model penataan bangku yang biasa digunakan dalam pembelajaran kooperatif, diantaranya seperti:
• Meja tapal kuda, siswa bekelompok di ujung meja
• Penataan tapal kuda, siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan
• Meja Panjang
• Meja Kelompok, siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan
• Meja berbaris, dua kelompok duduk berbagi satu meja
Dan masih ada beberapa bentuk posisi tempat duduk yang dapat diterapkan dalam pembelajaran kooperatif ini.
Dalam memilih desain penataan tempat duduk perlu memperhatikan jumlah siswa dalam satu kelas yang kan disesuaikan pula dengan metode yang akan digunakan.
Hal yang tidak boleh kita lupakan bahwa dalam penataan tempat duduk siswa tersebut guru tidak hanya menyesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan saja. Tetapi seorang guru perlu mempertimbangkan karakteristik individu siswa, baik dilihat dari aspek kecerdasan, psikologis, dan biologis siswa itu sendiri. Hal ini penting karena guru perlu menyusun atau menata tempat duduk yang dapat memberikan suasana yang nyaman bagi para siswa.
Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, melihat siswa sebagai individu dengan segala perbedaan dan persamaannya yang pada intinya mencakup ketiga aspek di atas. Persamaan dan perbedaan dimaksud adalah :
• Persamaan dan perbedaan dalam kecerdasan (inteligensi).
• Persamaan dan perbedaan dalam kecakapan
• Persamaan dan perbedaan dalam hasil belajar
• Persamaan dan perbedaan dalam bakat
• Persamaan dan perbedaan dalam sikap
• Persamaan dan perbedaan dalam kebiasaan
• Persamaan dan perbedaan dalam pengetahuan/pengalaman
• Persamaan dan perbedaan dalam ciri-ciri jasmaniah
• Persamaan dan perbedaan dalam minat
• Persamaan dan perbedaan dalam cita-cita
• Persamaan dan perbedaan dalam kebutuhan
• Persamaan dan perbedaan dalam kepribadian
• Persamaan dan perbedaan dalam pola-pola dan tempo perkembangan
• Persamaan dan perbedaan dalam latar belakang lingkungan.
Berbagai persamaan dan perbedaan kepribadian siswa di atas, sangat berguna dalam membantu usaha pengaturan siswa di kelas. Terutama berhubungan dengan masalah bagaimana pola pengelompokan siswa dan penataan tempat duduk dengan metode belajar kelompok guna menciptakan lingkungan belajar aktif dan kreatif, sehingga kegiatan belajar yang penuh kesenangan dan bergairah dapat terlaksana.
Penempatan siswa kiranya harus mempertimbangan pula pada aspek biologis seperti, postur tubuh siswa, dimana menempatkan siswa yang mempunyai tubuh tinggi dan atau rendah. Dan bagaimana menempatkan siswa yang mempunyai kelainan dalam arti secara psikologis, misalnya siswa yang hiper aktif, suka melamun, dll.
E. Penataan Tempat Duduk Siswa Sebagai Bentuk Pengelolaan Kelas
Tujuan utama penataan lingkungan fisik kelas ialah mengarahkan kegiatan siswa dan mencegah munculnya tingkah laku siswa yang tidak diharapkan melalui penataan tempat duduk, perabot, pajangan, dan barang-barang lainnya di dalam kelas.
Penataan tempat duduk adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh guru dalam mengelola kelas. Karena pengelolaan kelas yang efektif akan menentukan hasil pembelajaran yang dicapai. Dengan penataan tempat duduk yang baik maka diharapkan akan menciptakan kondisi belajar yang kondusif, dan juga menyenangkan bagi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Winzer (Winataputra, 2003: 9-21) bahwa “penataan lingkungan kelas yang tepat berpengaruh terhadap tingkat keterlibatan dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Lebih jauh, diketahui bahwa tempat duduk berpengaruh jumlah terhadap waktu yang digunakan siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan”.
Sesuai dengan maksud pengelolaan kelas sendiri bahwa pengelolaan kelas merupakan upaya yang dilakukan oleh guru dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif, melalui kegiatan pengaturan siswa dan barang/ fasilitas. Selain itu pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakakan, memelihara tingkah laku siswa yang dapat mendukung proses pembelajaran. Maka dengan demikian pengelolaan kelas berupa penataan tempat duduk siswa sebagai bentuk pengelolaan kelas dapat membantu menciptakan proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan.
F. Kesimpulan
Keterampilan pengelolaan kelas perlu dimiliki oleh guru, karena hal ini akan membantu dalam pencapaian tujuan pembelajaran sendiri. Pengelolaan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru yang ditujukan untuk menciptakan kondisi kelas yang memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan maksimal. Pengelolaan kelas ditekankan pada aspek pengaturan (management) lingkungan pembelajaran yaitu berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang/ fasilitas.
Salah satu bentuk pengelolaan kelas adalah penatan tempat duduk, dimana penatan tempat duduk perlu memperhatikan lingkungan fisik kelas dan juga keanekaragaman karakteristik siswa, serta mempertimbangkan kesesuaian metode yang digunakan dengan tujuan akhir dari pembelajaran itu sendiri.
Kondisi dan posisi tempat duduk dapat menentukan tingkat aktivitas belajar siswa di kelas. Hal tersebut sisebabkan karena tempat duduk yang nyaman akan membantu siswa untuk tenang dalam belajar dan apat pula menimbulkan gairah belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Sudrajat. 2008. Teknik Pengelolaan Kelas.
Anita Lie. 2007. Cooperative Learning (Memperaktikan Cooperatif Learning di Ruang-ruang Kelas). Jakarta: PT Grasindo
Udin S. Winataputra. 2003. Srategi Belajar mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
A. Pendahuluan
Dalam proses pembelajaran penguasaan pengetahuan dan keterampilan hidup yang dibutuhkan siswa dalam menghadapi kehidupan rill adalah merupakan tujuan pendidikan, tetapi dalam proses pembelajaran di kelas bagaiamana siswa dapat menguasai dan memahami bahan ajar secara tuntas masih merupakan masalah yang sulit. Hal tersebut dikarenakan bahwa dalam satu kelas para siswa adalah merupakan makhluk sosial yang mempunyai latar belakang yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari aspek kecerdasan, pisikologis, biologis.
Dari perbedaan tersebut dapat menimbulkan beragamnya sikap dan anak didik di dalam kelas. Menjadi tugas guru bagaiman menjadikan keanekaragaman karakteristik siswa tersebut dapat manjadi kekuatan / support agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Hal itu merupakan tugas bagi guru agar dalam mengelola kelas dapat dilakukan dengan perencanaan yang baik. Keterampilan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran tidak hanya tertuang dalam penguasaan bahan ajar atau penggunaan metode pembelajaran, tetapi proses pembelajaran yang baik akan dipengaruhi pula oleh iklim belajar yang kondusif atau memaksimalkan peran dan fungsi yang berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang.
Banyaknya keluhan guru karena sukarnya mengelola kelas sehingga tujuan pembelajaran sukar untuk dicapai, hal ini kiranya tidak perlu terjadi apabila ada usaha yang dapat dilakukan oleh guru dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif dan maksimal. Misalnya penataan ruang kelas berupa pengaturan/ penataan tempat duduk yang sesuai dengan kegiatan yang sedang berlangsung.
Pengelolaan kelas yang baik akan melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Dengan tercapainya tujuan pembelajaran, maka dapat dikatakan bahwa guru telah berhasil dalam mengajar. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dapat diketahui setelah diadakan evaluasi dengan seperangkat item soal yang sesuai dengan rumusan tujuan pembelajaran.
Dari permasalahan tersebut maka kiranya perlu bagi guru atau calon pengajar mengetahui dan memahami tentang pengelolaan kelas yang efektif, salah satunya yaitu pengaturan ruangan kelas berupa penataan tempat duduk siswa.
B. Pengertian Pengelolaan Kelas
Menurut Winataputra (2003), menyatakan bahwa pengelolaan kelas adalah serangkaian kegiatan guru yang ditujukan untuk mendorong munculnya tingkah laku siswa yang diharapkan dan menghilangkan tingkah laku siswa yang tidak diharapkan, menciptakan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosoi- emosional yang positif , serta menciptakan dan memelihara organisasi kelas yang produktif dan efektif.
Pengelolaan kelas lebih berkaitan dengan upaya-upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar (pembinaan report, penghentian perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas oleh peserta didik secara tepat waktu, penetapan norma kelompok yang produktif), didalamnya mencakup pengaturan orang peserta didik) dan fasilitas.
Dan menurut Winzer (Winataputra, 1003: 99) menyatakan bahwa pengelolaan kelas adalah cara-cara yang ditempuh guru dalam menciptakan lingkungan kelas agar tidak terjadi kekacauan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai tujuan akademis dan sosial.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru yang ditujukan untuk menciptakan kondisi kelas yang memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan maksimal. Pengelolaan kelas ditekankan pada aspek pengaturan (management) lingkungan pembelajaran yaitu berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang/ fasilitas. Kegiatan guru tersebut dapat berupa pengaturan kondisi dan fasilitas yang berada di dalam kelas yang diperlukan dalam proses pembelajaran diantaranya tempat duduk, perlengkapan dan bahan ajar, lingkungan kelas (cahaya, temperatur udara, ventilasi) dll.
C. Penataan Ruang Kelas
Pembelajaran yang efektif dapat bermula dari iklim kelas yang dapat menciptakan suasana belajar yang menggairahkan, untuk itu perlu diperhatikan pengaturan/ penataan ruang kelas dan isinya, selama proses pembelajaran. Lingkungan kelas perlu ditata dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang aktif antara siswa dengan guru, dan antar siswa. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru dalam menata lingkungan fisik kelas menurut Loisell (Winataputra, 2003: 9.22) yaitu:
1. Visibility ( Keleluasaan Pandangan)
Visibility artinya penempatan dan penataan barang-barang di dalam kelas tidak mengganggu pandangan siswa, sehingga siswa secara leluasa dapat memandang guru, benda atau kegiatan yang sedang berlangsung. Begitu pula guru harus dapat memandang semua siswa kegiatan pembelajaran.
2. Accesibility (mudah dicapai)
Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk harus cukup untuk dilalui oleh siswa sehingga siswa dapat bergerak dengan mudah dan tidak mengganggu siswa lain yang sedang bekerja.
3. Fleksibilitas (Keluwesan)
Barang-barang di dalam kelas hendaknya mudah ditata dan dipindahkan yang disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran. Seperti penataan tempat duduk yang perlu dirubah jika proses pembelajaran menggunakan metode diskusi, dan kerja kelompok.
4. Kenyamanan
Kenyamanan disini berkenaan dengan temperatur ruangan, cahaya, suara, dan kepadatan kelas.
5. Keindahan
Prinsip keindahan ini berkenaan dengan usaha guru menata ruang kelas yang menyenangkan dan kondusif bagi kegiatan belajar. Ruangan kelas yang indah dan menyenangkan dapat berengaruh positif pada sikap dan tingkah laku siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
Penyusunan dan pengaturan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak duduk bekelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa untuk membantu dan memantau tingkah laku siswa dalam belajar. Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal berikut perlu diperhatikan yaitu:
• Ukuran bentuk kelas
• Bentuk serta ukuran bangku dan meja
• Jumlah siswa dalam kelas
• Jumlah siswa dalam setiap kelompok
• Jumlah kelompok dalam kelas
• Komposisi siswa dalam kelompok (seperti siswa yang pandai dan kurang pandai, pria dan wanita).
Berkaitan dengan penataan ruang kelas belajar maka pada penulisan makalah ini hanya berkaitan dengan pengelolaan kelas berupa penempatan tempat duduk siswa saja.
D. Tempat Duduk Siswa
Tempat duduk merupakan fasilitas atau barang yang diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran terutama dalam proses belajar di kelas di sekolah formal.tempat duduk dapat mempengaruhi proses pembelajaran siswa, bila tempat duduknya bagus, tidak terlalu rendah, tidak terlalu besar, bundar, persegi empat panjang, sesuai dengan keadaan tubuh siswa. Maka siswa akan merasa nyaman dan dapat belajar dengan tenang.
Bentuk dan ukuran tempat yang digunakan bermacam-macam, ada yang satu tempat duduk dapat di duduki oleh seorang siswa, dan satu tempat yang diduduki oleh beberapa orang siswa. Sebaiknya tempat duduk siswa itu mudah di ubah-ubah formasinya yang disesuaikan dengan kebutuhan kegiatan pembelajaran. Untuk ukuran tempat dudukpun sebaiknya tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil sehingga mudah untuk diubah-ubah dan juga harus disesuaikan dengan ukuran bentuk kelas.
Sebenarnya banyak macam posisi tempat duduk yang bias digunakan di dalam kelas seperti berjejer ke belakang, bentuk setengah lingkaran, berhadapan, dan sebagainga. Biasanya posisi tempat duduk berjejer kebelakang digunakandalam kelas dengan metode belajar ceramah. Dan untuk metode diskusi dapat menggunakan posisi setengah lingkaran atau berhadapan. Dan sebagai alternatif penataan tempat duduk dengan metode kerja kelompok atau bahkan bentuk pembelajaran kooperatif, maka ada beberapa model penataan bangku yang biasa digunakan dalam pembelajaran kooperatif, diantaranya seperti:
• Meja tapal kuda, siswa bekelompok di ujung meja
• Penataan tapal kuda, siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan
• Meja Panjang
• Meja Kelompok, siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan
• Meja berbaris, dua kelompok duduk berbagi satu meja
Dan masih ada beberapa bentuk posisi tempat duduk yang dapat diterapkan dalam pembelajaran kooperatif ini.
Dalam memilih desain penataan tempat duduk perlu memperhatikan jumlah siswa dalam satu kelas yang kan disesuaikan pula dengan metode yang akan digunakan.
Hal yang tidak boleh kita lupakan bahwa dalam penataan tempat duduk siswa tersebut guru tidak hanya menyesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan saja. Tetapi seorang guru perlu mempertimbangkan karakteristik individu siswa, baik dilihat dari aspek kecerdasan, psikologis, dan biologis siswa itu sendiri. Hal ini penting karena guru perlu menyusun atau menata tempat duduk yang dapat memberikan suasana yang nyaman bagi para siswa.
Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, melihat siswa sebagai individu dengan segala perbedaan dan persamaannya yang pada intinya mencakup ketiga aspek di atas. Persamaan dan perbedaan dimaksud adalah :
• Persamaan dan perbedaan dalam kecerdasan (inteligensi).
• Persamaan dan perbedaan dalam kecakapan
• Persamaan dan perbedaan dalam hasil belajar
• Persamaan dan perbedaan dalam bakat
• Persamaan dan perbedaan dalam sikap
• Persamaan dan perbedaan dalam kebiasaan
• Persamaan dan perbedaan dalam pengetahuan/pengalaman
• Persamaan dan perbedaan dalam ciri-ciri jasmaniah
• Persamaan dan perbedaan dalam minat
• Persamaan dan perbedaan dalam cita-cita
• Persamaan dan perbedaan dalam kebutuhan
• Persamaan dan perbedaan dalam kepribadian
• Persamaan dan perbedaan dalam pola-pola dan tempo perkembangan
• Persamaan dan perbedaan dalam latar belakang lingkungan.
Berbagai persamaan dan perbedaan kepribadian siswa di atas, sangat berguna dalam membantu usaha pengaturan siswa di kelas. Terutama berhubungan dengan masalah bagaimana pola pengelompokan siswa dan penataan tempat duduk dengan metode belajar kelompok guna menciptakan lingkungan belajar aktif dan kreatif, sehingga kegiatan belajar yang penuh kesenangan dan bergairah dapat terlaksana.
Penempatan siswa kiranya harus mempertimbangan pula pada aspek biologis seperti, postur tubuh siswa, dimana menempatkan siswa yang mempunyai tubuh tinggi dan atau rendah. Dan bagaimana menempatkan siswa yang mempunyai kelainan dalam arti secara psikologis, misalnya siswa yang hiper aktif, suka melamun, dll.
E. Penataan Tempat Duduk Siswa Sebagai Bentuk Pengelolaan Kelas
Tujuan utama penataan lingkungan fisik kelas ialah mengarahkan kegiatan siswa dan mencegah munculnya tingkah laku siswa yang tidak diharapkan melalui penataan tempat duduk, perabot, pajangan, dan barang-barang lainnya di dalam kelas.
Penataan tempat duduk adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh guru dalam mengelola kelas. Karena pengelolaan kelas yang efektif akan menentukan hasil pembelajaran yang dicapai. Dengan penataan tempat duduk yang baik maka diharapkan akan menciptakan kondisi belajar yang kondusif, dan juga menyenangkan bagi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Winzer (Winataputra, 2003: 9-21) bahwa “penataan lingkungan kelas yang tepat berpengaruh terhadap tingkat keterlibatan dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Lebih jauh, diketahui bahwa tempat duduk berpengaruh jumlah terhadap waktu yang digunakan siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan”.
Sesuai dengan maksud pengelolaan kelas sendiri bahwa pengelolaan kelas merupakan upaya yang dilakukan oleh guru dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif, melalui kegiatan pengaturan siswa dan barang/ fasilitas. Selain itu pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakakan, memelihara tingkah laku siswa yang dapat mendukung proses pembelajaran. Maka dengan demikian pengelolaan kelas berupa penataan tempat duduk siswa sebagai bentuk pengelolaan kelas dapat membantu menciptakan proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan.
F. Kesimpulan
Keterampilan pengelolaan kelas perlu dimiliki oleh guru, karena hal ini akan membantu dalam pencapaian tujuan pembelajaran sendiri. Pengelolaan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru yang ditujukan untuk menciptakan kondisi kelas yang memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan maksimal. Pengelolaan kelas ditekankan pada aspek pengaturan (management) lingkungan pembelajaran yaitu berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang/ fasilitas.
Salah satu bentuk pengelolaan kelas adalah penatan tempat duduk, dimana penatan tempat duduk perlu memperhatikan lingkungan fisik kelas dan juga keanekaragaman karakteristik siswa, serta mempertimbangkan kesesuaian metode yang digunakan dengan tujuan akhir dari pembelajaran itu sendiri.
Kondisi dan posisi tempat duduk dapat menentukan tingkat aktivitas belajar siswa di kelas. Hal tersebut sisebabkan karena tempat duduk yang nyaman akan membantu siswa untuk tenang dalam belajar dan apat pula menimbulkan gairah belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Sudrajat. 2008. Teknik Pengelolaan Kelas.
Anita Lie. 2007. Cooperative Learning (Memperaktikan Cooperatif Learning di Ruang-ruang Kelas). Jakarta: PT Grasindo
Udin S. Winataputra. 2003. Srategi Belajar mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Minggu, 01 Mei 2011
Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan
oleh : Drs. A.Jalil Machmud, M.Pd.I
Pengertian PAKEM?
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga, jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. Secara garis besar, gambaran PAKEM adalah sebagai berikut:
1. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
3. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
4. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
5. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
B. Apa yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM?
1. Memahami sifat yang dimiliki anak
Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan, tersebut. Suasana pembelajaran dimana guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang dimaksud.
2. Mengenal anak secara perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM (Pembelajaran Aktif, Menyenangkan, dan Efektif) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal.
3.Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah
Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering-sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
5. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam PEMBELAJARAN karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.
6. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat men-gembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.
7.Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Mutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.
8. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental
Banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKEMenyenangkan.’
C. Bagaimana Pelaksanaan PAKEM?
Gambaran PAKEM diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang terjadi selama PEMBELAJARAN. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut. Berikut tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru.
Kemampuan Guru
Guru menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam.
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan.
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan.
Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa.
Guru mengaitkan PEMBELAJARAN dengan pengalaman siswa sehari-hari.
Menilai PEMBELAJARAN dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus.
Skenario Pembelajaran
Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal:
- Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri
- Gambar
- Studi kasus
- Nara sumber
- Lingkungan
Siswa:
-Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara
-Mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri
Menarik kesimpulan
Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri
Menulis laporan/hasil karya lain dengan kata-kata sendiri
Melalui:
-Diskusi
-Lebih banyak pertanyaan terbuka
-Hasil karya yang merupakan pemikiran anak sendiri
-Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk kegiatan tertentu)
-Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut.
-Tugas perbaikan atau pengayaan diberikan
-Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
-Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari
-Guru memantau kerja siswa
Guru memberikan umpan balik..
Pengertian PAKEM?
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga, jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. Secara garis besar, gambaran PAKEM adalah sebagai berikut:
1. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
3. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
4. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
5. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
B. Apa yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM?
1. Memahami sifat yang dimiliki anak
Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan, tersebut. Suasana pembelajaran dimana guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang dimaksud.
2. Mengenal anak secara perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM (Pembelajaran Aktif, Menyenangkan, dan Efektif) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal.
3.Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah
Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering-sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
5. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam PEMBELAJARAN karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.
6. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat men-gembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.
7.Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Mutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.
8. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental
Banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKEMenyenangkan.’
C. Bagaimana Pelaksanaan PAKEM?
Gambaran PAKEM diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang terjadi selama PEMBELAJARAN. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut. Berikut tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru.
Kemampuan Guru
Guru menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam.
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan.
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan.
Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa.
Guru mengaitkan PEMBELAJARAN dengan pengalaman siswa sehari-hari.
Menilai PEMBELAJARAN dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus.
Skenario Pembelajaran
Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal:
- Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri
- Gambar
- Studi kasus
- Nara sumber
- Lingkungan
Siswa:
-Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara
-Mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri
Menarik kesimpulan
Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri
Menulis laporan/hasil karya lain dengan kata-kata sendiri
Melalui:
-Diskusi
-Lebih banyak pertanyaan terbuka
-Hasil karya yang merupakan pemikiran anak sendiri
-Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk kegiatan tertentu)
-Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut.
-Tugas perbaikan atau pengayaan diberikan
-Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
-Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari
-Guru memantau kerja siswa
Guru memberikan umpan balik..
Sabtu, 30 April 2011
Pembelajaran Tuntas dan Pengayaan
Oleh : Drs.A. Jalil Machmud, M.Pd.I
A.Pendahuluan
Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi dimaksudkan adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan peserta didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika peserta didik tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat penguasaan kompetensi peserta didik tersebut belum optimal.
Harapan dari proses pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas adalah untuk mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi peserta didik yang lambat agar menguasai standar kompetensi atau kompetensi dasar. Dari konsep tersebut, dapat dikemukakan prinsip-prinsip utama pembelalaran tuntas adalah:
1. Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis,
2. Evaluasi yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback,
3. Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,
4. Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar lebih awal. (Gentile & Lalley: 2003)
B. Perbedaan antara Pembelajaran Tuntas dengan Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran tuntas adalah pola pembelajaran yang menggunakan prinsip ketuntasan secara individual. Dalam hal pemberian kebebasan belajar, serta untuk mengurangi kegagalan peserta didik dalam belajar, strategi belajar tuntas menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi mengakui dan melayani perbedaan-perbedaan perorangan peserta didik sedemikiah rupa, sehingga dengan penerapan pembelajaran tuntas memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal. Dasar pemikiran dari belajar tuntas dengan pendekatan individual ialah adanya pengakuan terhadap perbedaan individual masing-masing peserta didik.
Untuk merealisasikan pengakuan dan pelayanan terhadap perbedaan individu, pembelajaran harus menggunakan strategi pembelajaran yang berasaskan maju berkelanjutan (continuous progress). Untuk itu, pendekatan sistem yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam teknologi pembelajaran harus benar-benar dapat diimplementasikan. Salah satu caranya adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar harus dinyatakan secara jelas, dan pembelajaran dipecah-pecah ke dalam satuan-satuan (cremental units). Peserta didik belajar selangkah demi selangkah dan boleh mempelajari kompetensi dasar berikutnya setelah menguasai sejumlah kompetensi dasar yang ditetapkan menurut kriteria tertentu. Dalam pola ini, seorang peserta didik yang mempelajari unit satuan pembelajaran tertentu dapat berpindah ke unit satuan pembelajaran berikutnya jika peserta didik yang bersangkutan telah menguasai sekurang-kurangnya 75% dari kompetensi dasar yang ditetapkan. Sedangkan pembelajaran konvensional dalam kaitan ini diartikan sebagai pembelajaran dalam konteks klasikal yang sudah terbiasa dilakukan, sifatnya berpusat pada guru, sehingga pelaksanaannya kurang memperhatikan keseluruhan situasi belajar (non belajar tuntas).
Dengan memperhatikan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa perbedaan antara pembelajaran tuntas dengan pembelajaran konvensional adalah bahwa pembelajaran tuntas dilakukan melalui asas-asas ketuntasan belajar, sedangkan pembelajaran konvensional pada umumnya kurang memperhatikan ketuntasan belajar khususnya ketuntasan peserta didik secara individual.
C. Indikator Pelaksanaan Pembelajaran Tuntas
1. Metode Pembelajaran
Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi juga mengakui dan memberikan layanan sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual peserta didik, sehingga pembelajaran memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal.
Adapun langkah-langkahnya adalah :
a. mengidentifikasi prasyarat (prerequisite),
b. membuat tes untuk mengukur perkembangan dan pencapaian kompetensi,
c. mengukur pencapaian kompetensi peserta didik.
Metode pembelajaran yang sangat ditekankan dalam pembelajaran tuntas adalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.
Pembelajaran tuntas sangat mengandalkan pada pendekatan tutorial dengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996)
2. Peran Guru
Strategi pembelajaran tuntas menekankan pada peran atau tanggung jawab guru dalam mendorong keberhasilan peserta didik secara individual. Pendekatan yang digunakan mendekati model Personalized System of Instruction (PSI) seperti dikembangkan oleh Keller, yang lebih menekankan pada interaksi antara peserta didik dengan materi/objek belajar.
Peran guru harus intensif dalam hal-hal berikut:
a. Menjabarkan/memecah KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyaratnya.
b. Mengembangkan indikator berdasarkan SK/KD.
c. Menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk yang bervariasi
d. Memonitor seluruh pekerjaan peserta didik
e. Menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor, dan afektif)
f. Menggunakan teknik diagnostik
g. Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan
3. Peran Peserta didik
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memiliki pendekatan berbasis kompetensi sangat menjunjung tinggi dan menempatkan peran peserta didik sebagai subjek didik. Fokus program pembelajaran bukan pada “Guru dan yang akan dikerjakannya” melainkan pada ”Peserta didik dan yang akan dikerjakannya”. Oleh karena itu, pembelajaran tuntas memungkinkan peserta didik lebih leluasa dalam menentukan jumlah waktu belajar yang diperlukan. Artinya, peserta didik diberi kebebasan dalam menetapkan kecepatan pencapaian kompetensinya. Kemajuan peserta didik sangat bertumpu pada usaha serta ketekunannya secara individual.
4. Evaluasi
Penting untuk dicatat bahwa ketuntasan belajar dalam KTSP ditetapkan dengan penilaian acuan patokan (criterion referenced) pada setiap kompetensi dasar dan tidak ditetapkan berdasarkan norma (norm referenced). Dalam hal ini batas ketuntasan belajar harus ditetapkan oleh guru, misalnya apakah peserta didik harus mencapai nilai 75, 65, 55, atau sampai nilai berapa seorang peserta didik dinyatakatan mencapai ketuntasan dalam belajar.
Asumsi dasarnya adalah:
a. bahwa semua orang bisa belajar apa saja, hanya waktu yang diperlukan berbeda,
b. standar harus ditetapkan terlebih dahulu, dan hasil evaluasi adalah lulus atau tidak lulus. (Gentile & Lalley: 2003)
Sistem evaluasi menggunakan penilaian berkelanjutan, yang ciri-cirinya adalah:
a. Ulangan dilaksanakan untuk melihat ketuntasan setiap Kompetensi Dasar
b. Ulangan dapat dilaksanakan terdiri atas satu atau lebih Kompetensi Dasar (KD)
c. Hasil ulangan dianalisis dan ditindaklanjuti melalui program remedial dan program pengayaan.
d. Ulangan mencakup aspek kognitif dan psikomotor
e. Aspek afektif diukur melalui kegiatan inventori afektif seperti pengamatan, kuesioner, dsb.
Sistem penilaian mencakup jenis tagihan serta bentuk instrumen/soal. Dalam pembelajaran tuntas tes diusahakan disusun berdasarkan indikator sebagai alat diagnosis terhadap program pembelajaran. Dengan menggunakan tes diagnostik yang dirancang secara baik, peserta didik dimungkinkan dapat menilai sendiri hasil tesnya, termasuk mengenali di mana ia mengalami kesulitan dengan segera. Sedangkan penentuan batas pencapaian ketuntasan belajar, meskipun umumnya disepakati pada skor/nilai 75 (75%) namun batas ketuntasan yang paling realistik atau paling sesuai adalah ditetapkan oleh guru mata pelajaran, sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam penentuan batas ketuntasan untuk setiap KD maupun pada setiap sekolah dan atau daerah.
Pelaksanaan Program Pengayaan
1. Cara yang ditempuh
Kondisi yang sebaliknya dari program remedial, dalam kelas yang menerapkan pembelajaran tuntas adalah akan selalu ada peserta didik yang lebih cepat menguasai kompetensi yang ditetapkan. Peserta didik inipun tidak boleh diterlantarkan. Mereka perlu mendapatkan tambahan pengetahuan maupun keterampilan sesuai dengan kapasitasnya, melalui program pengayaan.
Cara yang dapat ditempuh di antaranya adalah:
a. Pemberian bacaan tambahan atau berdiskusi yang bertujuan memperluas wawasan bagi KD tertentu
b. Pemberian tugas untuk melakukan analisis gambar, model, grafik, bacaan/paragraf, dll.
c. Memberikan soal-soal latihan tambahan yang bersifat pengayaan
d. Membantu guru dalam membimbing teman-temannya yang belum mencapai ketuntasan.
2. Materi dan waktu pelaksanaan program pengayaan
a. Program pengayaan diberikan sesuai dengan KD-KD atau indikator yang dipelajari
b. Waktu pelaksanaan program pengayaan adalah setelah mengikuti:
• tes/ulangan KD tertentu
• tes/ulangan kesatuan KD tertentu
• tes/ulangan KD-KD pada akhir semester tertentu. Khusus untuk program pengayaan yang dilaksanakan pada akhir semester ini materinya hanya yang berhubungan dengan KD-KD yang terkait.
A.Pendahuluan
Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi dimaksudkan adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan peserta didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika peserta didik tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat penguasaan kompetensi peserta didik tersebut belum optimal.
Harapan dari proses pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas adalah untuk mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi peserta didik yang lambat agar menguasai standar kompetensi atau kompetensi dasar. Dari konsep tersebut, dapat dikemukakan prinsip-prinsip utama pembelalaran tuntas adalah:
1. Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis,
2. Evaluasi yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback,
3. Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,
4. Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar lebih awal. (Gentile & Lalley: 2003)
B. Perbedaan antara Pembelajaran Tuntas dengan Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran tuntas adalah pola pembelajaran yang menggunakan prinsip ketuntasan secara individual. Dalam hal pemberian kebebasan belajar, serta untuk mengurangi kegagalan peserta didik dalam belajar, strategi belajar tuntas menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi mengakui dan melayani perbedaan-perbedaan perorangan peserta didik sedemikiah rupa, sehingga dengan penerapan pembelajaran tuntas memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal. Dasar pemikiran dari belajar tuntas dengan pendekatan individual ialah adanya pengakuan terhadap perbedaan individual masing-masing peserta didik.
Untuk merealisasikan pengakuan dan pelayanan terhadap perbedaan individu, pembelajaran harus menggunakan strategi pembelajaran yang berasaskan maju berkelanjutan (continuous progress). Untuk itu, pendekatan sistem yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam teknologi pembelajaran harus benar-benar dapat diimplementasikan. Salah satu caranya adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar harus dinyatakan secara jelas, dan pembelajaran dipecah-pecah ke dalam satuan-satuan (cremental units). Peserta didik belajar selangkah demi selangkah dan boleh mempelajari kompetensi dasar berikutnya setelah menguasai sejumlah kompetensi dasar yang ditetapkan menurut kriteria tertentu. Dalam pola ini, seorang peserta didik yang mempelajari unit satuan pembelajaran tertentu dapat berpindah ke unit satuan pembelajaran berikutnya jika peserta didik yang bersangkutan telah menguasai sekurang-kurangnya 75% dari kompetensi dasar yang ditetapkan. Sedangkan pembelajaran konvensional dalam kaitan ini diartikan sebagai pembelajaran dalam konteks klasikal yang sudah terbiasa dilakukan, sifatnya berpusat pada guru, sehingga pelaksanaannya kurang memperhatikan keseluruhan situasi belajar (non belajar tuntas).
Dengan memperhatikan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa perbedaan antara pembelajaran tuntas dengan pembelajaran konvensional adalah bahwa pembelajaran tuntas dilakukan melalui asas-asas ketuntasan belajar, sedangkan pembelajaran konvensional pada umumnya kurang memperhatikan ketuntasan belajar khususnya ketuntasan peserta didik secara individual.
C. Indikator Pelaksanaan Pembelajaran Tuntas
1. Metode Pembelajaran
Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi juga mengakui dan memberikan layanan sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual peserta didik, sehingga pembelajaran memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal.
Adapun langkah-langkahnya adalah :
a. mengidentifikasi prasyarat (prerequisite),
b. membuat tes untuk mengukur perkembangan dan pencapaian kompetensi,
c. mengukur pencapaian kompetensi peserta didik.
Metode pembelajaran yang sangat ditekankan dalam pembelajaran tuntas adalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.
Pembelajaran tuntas sangat mengandalkan pada pendekatan tutorial dengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996)
2. Peran Guru
Strategi pembelajaran tuntas menekankan pada peran atau tanggung jawab guru dalam mendorong keberhasilan peserta didik secara individual. Pendekatan yang digunakan mendekati model Personalized System of Instruction (PSI) seperti dikembangkan oleh Keller, yang lebih menekankan pada interaksi antara peserta didik dengan materi/objek belajar.
Peran guru harus intensif dalam hal-hal berikut:
a. Menjabarkan/memecah KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyaratnya.
b. Mengembangkan indikator berdasarkan SK/KD.
c. Menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk yang bervariasi
d. Memonitor seluruh pekerjaan peserta didik
e. Menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor, dan afektif)
f. Menggunakan teknik diagnostik
g. Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan
3. Peran Peserta didik
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memiliki pendekatan berbasis kompetensi sangat menjunjung tinggi dan menempatkan peran peserta didik sebagai subjek didik. Fokus program pembelajaran bukan pada “Guru dan yang akan dikerjakannya” melainkan pada ”Peserta didik dan yang akan dikerjakannya”. Oleh karena itu, pembelajaran tuntas memungkinkan peserta didik lebih leluasa dalam menentukan jumlah waktu belajar yang diperlukan. Artinya, peserta didik diberi kebebasan dalam menetapkan kecepatan pencapaian kompetensinya. Kemajuan peserta didik sangat bertumpu pada usaha serta ketekunannya secara individual.
4. Evaluasi
Penting untuk dicatat bahwa ketuntasan belajar dalam KTSP ditetapkan dengan penilaian acuan patokan (criterion referenced) pada setiap kompetensi dasar dan tidak ditetapkan berdasarkan norma (norm referenced). Dalam hal ini batas ketuntasan belajar harus ditetapkan oleh guru, misalnya apakah peserta didik harus mencapai nilai 75, 65, 55, atau sampai nilai berapa seorang peserta didik dinyatakatan mencapai ketuntasan dalam belajar.
Asumsi dasarnya adalah:
a. bahwa semua orang bisa belajar apa saja, hanya waktu yang diperlukan berbeda,
b. standar harus ditetapkan terlebih dahulu, dan hasil evaluasi adalah lulus atau tidak lulus. (Gentile & Lalley: 2003)
Sistem evaluasi menggunakan penilaian berkelanjutan, yang ciri-cirinya adalah:
a. Ulangan dilaksanakan untuk melihat ketuntasan setiap Kompetensi Dasar
b. Ulangan dapat dilaksanakan terdiri atas satu atau lebih Kompetensi Dasar (KD)
c. Hasil ulangan dianalisis dan ditindaklanjuti melalui program remedial dan program pengayaan.
d. Ulangan mencakup aspek kognitif dan psikomotor
e. Aspek afektif diukur melalui kegiatan inventori afektif seperti pengamatan, kuesioner, dsb.
Sistem penilaian mencakup jenis tagihan serta bentuk instrumen/soal. Dalam pembelajaran tuntas tes diusahakan disusun berdasarkan indikator sebagai alat diagnosis terhadap program pembelajaran. Dengan menggunakan tes diagnostik yang dirancang secara baik, peserta didik dimungkinkan dapat menilai sendiri hasil tesnya, termasuk mengenali di mana ia mengalami kesulitan dengan segera. Sedangkan penentuan batas pencapaian ketuntasan belajar, meskipun umumnya disepakati pada skor/nilai 75 (75%) namun batas ketuntasan yang paling realistik atau paling sesuai adalah ditetapkan oleh guru mata pelajaran, sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam penentuan batas ketuntasan untuk setiap KD maupun pada setiap sekolah dan atau daerah.
Pelaksanaan Program Pengayaan
1. Cara yang ditempuh
Kondisi yang sebaliknya dari program remedial, dalam kelas yang menerapkan pembelajaran tuntas adalah akan selalu ada peserta didik yang lebih cepat menguasai kompetensi yang ditetapkan. Peserta didik inipun tidak boleh diterlantarkan. Mereka perlu mendapatkan tambahan pengetahuan maupun keterampilan sesuai dengan kapasitasnya, melalui program pengayaan.
Cara yang dapat ditempuh di antaranya adalah:
a. Pemberian bacaan tambahan atau berdiskusi yang bertujuan memperluas wawasan bagi KD tertentu
b. Pemberian tugas untuk melakukan analisis gambar, model, grafik, bacaan/paragraf, dll.
c. Memberikan soal-soal latihan tambahan yang bersifat pengayaan
d. Membantu guru dalam membimbing teman-temannya yang belum mencapai ketuntasan.
2. Materi dan waktu pelaksanaan program pengayaan
a. Program pengayaan diberikan sesuai dengan KD-KD atau indikator yang dipelajari
b. Waktu pelaksanaan program pengayaan adalah setelah mengikuti:
• tes/ulangan KD tertentu
• tes/ulangan kesatuan KD tertentu
• tes/ulangan KD-KD pada akhir semester tertentu. Khusus untuk program pengayaan yang dilaksanakan pada akhir semester ini materinya hanya yang berhubungan dengan KD-KD yang terkait.
Pembelajaran Remedial
Oleh : Drs. A. Jalil Machmud, M.Pd.I
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran ditetapkan dalam standar isi dan standar kompetensi kelulusan. Standar isi memuat standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik dalam mempelajari suatu mata pelajaran. Standar kompetensi lulusan (SKL) berisikan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik pada setiap satuan pendidikan. Berkenaan dengan materi yang harus dipelajari, diatur dalam silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang dikembangkan oleh pendidik. Menurut pasal 6 PP no.19 Tahun 2005, terdapat 5 kelompok mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus. Kelima kelompok mata pelajaran tersebut meliputi kelompok mata pelajaran: agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Dalam rangka membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan, pelaksanaan atau proses pembelajaran perlu diusahakan agar interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai tujuan dan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut pasti dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan atau masalah belajar. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, setiap satuan pendidikan perlu menyelenggarakan program pembelajaran remedial atau perbaikan.
A. Hakikat Pembelajaran Remedial
Pembelajaran remedial merupakan layanan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan. Untuk memahami konsep penyelenggaraan model pembelajaran remedial, terlebih dahulu perlu diperhatikan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas 22, 23, 24 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 6 Tahun 2007 menerapkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem belajar tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD setiap peserta didik diukur menggunakan sistem penilaian acuan kriteria. Jika seorang peserta didik mencapai standar tertentu maka peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan.
B. Prinsip Pembelajaran Remedial
Pembelajaran remedial merupakan pemberian perlakuan khusus terhadap peserta didik yang mengalami hambatan dalam kegiatan belajarnya. Hambatan yang terjadi dapat berupa kurangnya pengetahuan dan keterampilan prasyarat atau lambat dalam mecapai kompetensi. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran remedial sesuai dengan sifatnya sebagai pelayanan khusus antara lain:
1. Adaptif
Setiap peserta didik memiliki keunikan sendiri-sendiri. Oleh karena itu program pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk belajar sesuai dengan kecepatan, kesempatan, dan gaya belajar masing-masing. Dengan kata lain, pembelajaran remedial harus mengakomodasi perbedaan individual peserta didik.
2. Interaktif
Pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk secara intensif berinteraksi dengan pendidik dan sumber belajar yang tersedia. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan belajar peserta didik yang bersifat perbaikan perlu selalu mendapatkan monitoring dan pengawasan agar diketahui kemajuan belajarnya. Jika dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan segera diberikan bantuan.
3. Fleksibilitas dalam Metode Pembelajaran dan Penilaian
Sejalan dengan sifat keunikan dan kesulitan belajar peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam pembelajaran remedial perlu digunakan berbagai metode mengajar dan metode penilaian yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
4. Pemberian Umpan Balik Sesegera Mungkin
Umpan balik berupa informasi yang diberikan kepada peserta didik mengenai kemajuan belajarnya perlu diberikan sesegera mungkin. Umpan balik dapat bersifat korektif maupun konfirmatif. Dengan sesegera mungkin memberikan umpan balik dapat dihindari kekeliruan belajar yang berlarut-larut yang dialami peserta didik.
5. Kesinambungan dan Ketersediaan dalam Pemberian Pelayanan
Program pembelajaran reguler dengan pembelajaran remedial merupakan satu kesatuan, dengan demikian program pembelajaran reguler dengan remedial harus berkesinambungan dan programnya selalu tersedia agar setiap saat peserta didik dapat mengaksesnya sesuai dengan kesempatan masing-masing.
C. Bentuk Kegiatan Remedial
Dengan memperhatikan pengertian dan prinsip pembelajaran remedial tersebut, maka pembelajaran remedial dapat diselenggarakan dengan berbagai kegiatan antara lain:
1. Memberikan tambahan penjelasan atau contoh
Peserta didik kadang-kadang mengalami kesulitan memahami penyampaian materi pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang disajikan hanya sekali, apalagi kurang ilustrasi dan contoh. Pemberian tambahan ilustrasi, contoh dan bukan contoh untuk pembelajaran konsep misalnya akan membantu pembentukan konsep pada diri peserta didik.
2. Menggunakan strategi pembelajaran yang berbeda dengan sebelumnya
Penggunaan alternatif berbagai strategi pembelajaran akan memungkinkan peserta didik dapat mengatasi masalah pembelajaran yang dihadapi.
3. Mengkaji ulang pembelajaran yang lalu.
Penerapan prinsip pengulangan dalam pembelajaran akan membantu peserta didik menangkap pesan pembelajaran. Pengulangan dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan media yang sama atau metode dan media yang berbeda.
4. Menggunakan berbagai jenis media
Penggunaan berbagai jenis media dapat menarik perhatian peserta didik. Perhatian memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Semakin memperhatikan, hasil belajar akan lebih baik. Namun peserta didik seringkali mengalami kesulitan untuk memperhatikan atau berkonsentrasi dalam waktu yang lama. Agar perhatian peserta didik terkonsentrasi pada materi pelajaran perlu digunakan berbagai media untuk mengendalikan perhatian peserta didik.
D. Bentuk Pelaksanaan Pembelajaran Remedial
Setelah diketahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, langkah berikutnya adalah memberikan perlakuan berupa pembelajaran remedial. Bentuk-bentuk pelaksanaan pembelajaran remedial antara lain:
1. Pemberian pembelajaran ulang dengan metode dan media yang berbeda. Pembelajaran ulang dapat disampaikan dengan cara penyederhanaan materi, variasi cara penyajian, penyederhanaan tes/pertanyaan. Pembelajaran ulang dilakukan bilamana sebagian besar atau semua peserta didik belum mencapai ketuntasan belajar atau mengalami kesulitan belajar. Pendidik perlu memberikan penjelasan kembali dengan menggunakan metode dan/atau media yang lebih tepat.
2. Pemberian bimbingan secara khusus, misalnya bimbingan perorangan. Dalam hal pembelajaran klasikal peserta didik mengalami kesulitan, perlu dipilih alternatif tindak lanjut berupa pemberian bimbingan secara individual. Pemberian bimbingan perorangan merupakan implikasi peran pendidik sebagai tutor. Sistem tutorial dilaksanakan bilamana terdapat satu atau beberapa peserta didik yang belum berhasil mencapai ketuntasan.
3. Pemberian tugas-tugas latihan secara khusus.
Dalam rangka menerapkan prinsip pengulangan, tugas-tugas latihan perlu diperbanyak agar peserta didik tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan tes akhir. Peserta didik perlu diberi latihan intensif (drill) untuk membantu menguasai kompetensi yang ditetapkan.
4. Pemanfaatan tutor sebaya.
Tutor sebaya adalah teman sekelas yang memiliki kecepatan belajar lebih. Mereka perlu dimanfaatkan untuk memberikan tutorial kepada rekannya yang mengalami kelambatan belajar. Dengan teman sebaya diharapkan peserta didik yang mengalami kesulitan belajar akan lebih terbuka dan akrab.
Hasil belajar yang menunjukkan tingkat pencapaian kompetensi melalui penilaian diperoleh dari penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses diperoleh melalui postes, tes kinerja, observasi dan lain-lain. Sedangkan penilaian hasil diperoleh melalui ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester.
Jika peserta didik tidak lulus karena penilaian hasil maka sebaiknya hanya mengulang tes tersebut dengan pembelajaran ulang jika diperlukan. Namun apabila ketidaklulusan akibat penilaian proses yang tidak diikuti (misalnya kinerja praktik, diskusi/presentasi kelompok) maka sebaiknya peserta didik mengulang semua proses yang harus diikuti.
E. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran Remedial
Terdapat beberapa alternatif berkenaan dengan waktu atau kapan pembelajaran remedial dilaksanakan. Pertanyaan yang timbul, apakah pembelajaran remedial diberikan pada setiap akhir ulangan harian, mingguan, akhir bulan, tengah semester, atau akhir semester. Ataukah pembelajaran remedial itu diberikan setelah peserta didik mempelajari SK atau KD tertentu? Pembelajaran remedial dapat diberikan setelah peserta didik mempelajari KD tertentu. Namun karena dalam setiap SK terdapat beberapa KD, maka terlalu sulit bagi pendidik untuk melaksanakan pembelajaran remedial setiap selesai mempelajari KD tertentu. Mengingat indikator keberhasilan belajar peserta didik adalah tingkat ketuntasan dalam mencapai SK yang terdiri dari beberapa KD, maka pembelajaran remedial dapat juga diberikan setelah peserta didik menempuh tes SK yang terdiri dari beberapa KD. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa SK merupakan satu kebulatan kemampuan yang terdiri dari beberapa KD. Mereka yang belum mencapai penguasaan SK tertentu perlu mengikuti program pembelajaran remedial.
Tes Ulang
Tes ulang diberikan kepada peserta didik yang telah mengikuti program pembelajaran remedial agar dapat diketahui apakah peserta didik telah mencapai ketuntasan dalam penguasaan kompetensi yang telah ditentukan.
Nilai Hasil Remedial
Nilai hasil remedial tidak melebihi nilai KKM.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran ditetapkan dalam standar isi dan standar kompetensi kelulusan. Standar isi memuat standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik dalam mempelajari suatu mata pelajaran. Standar kompetensi lulusan (SKL) berisikan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik pada setiap satuan pendidikan. Berkenaan dengan materi yang harus dipelajari, diatur dalam silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang dikembangkan oleh pendidik. Menurut pasal 6 PP no.19 Tahun 2005, terdapat 5 kelompok mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus. Kelima kelompok mata pelajaran tersebut meliputi kelompok mata pelajaran: agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Dalam rangka membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan, pelaksanaan atau proses pembelajaran perlu diusahakan agar interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai tujuan dan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut pasti dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan atau masalah belajar. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, setiap satuan pendidikan perlu menyelenggarakan program pembelajaran remedial atau perbaikan.
A. Hakikat Pembelajaran Remedial
Pembelajaran remedial merupakan layanan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan. Untuk memahami konsep penyelenggaraan model pembelajaran remedial, terlebih dahulu perlu diperhatikan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas 22, 23, 24 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 6 Tahun 2007 menerapkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem belajar tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD setiap peserta didik diukur menggunakan sistem penilaian acuan kriteria. Jika seorang peserta didik mencapai standar tertentu maka peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan.
B. Prinsip Pembelajaran Remedial
Pembelajaran remedial merupakan pemberian perlakuan khusus terhadap peserta didik yang mengalami hambatan dalam kegiatan belajarnya. Hambatan yang terjadi dapat berupa kurangnya pengetahuan dan keterampilan prasyarat atau lambat dalam mecapai kompetensi. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran remedial sesuai dengan sifatnya sebagai pelayanan khusus antara lain:
1. Adaptif
Setiap peserta didik memiliki keunikan sendiri-sendiri. Oleh karena itu program pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk belajar sesuai dengan kecepatan, kesempatan, dan gaya belajar masing-masing. Dengan kata lain, pembelajaran remedial harus mengakomodasi perbedaan individual peserta didik.
2. Interaktif
Pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk secara intensif berinteraksi dengan pendidik dan sumber belajar yang tersedia. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan belajar peserta didik yang bersifat perbaikan perlu selalu mendapatkan monitoring dan pengawasan agar diketahui kemajuan belajarnya. Jika dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan segera diberikan bantuan.
3. Fleksibilitas dalam Metode Pembelajaran dan Penilaian
Sejalan dengan sifat keunikan dan kesulitan belajar peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam pembelajaran remedial perlu digunakan berbagai metode mengajar dan metode penilaian yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
4. Pemberian Umpan Balik Sesegera Mungkin
Umpan balik berupa informasi yang diberikan kepada peserta didik mengenai kemajuan belajarnya perlu diberikan sesegera mungkin. Umpan balik dapat bersifat korektif maupun konfirmatif. Dengan sesegera mungkin memberikan umpan balik dapat dihindari kekeliruan belajar yang berlarut-larut yang dialami peserta didik.
5. Kesinambungan dan Ketersediaan dalam Pemberian Pelayanan
Program pembelajaran reguler dengan pembelajaran remedial merupakan satu kesatuan, dengan demikian program pembelajaran reguler dengan remedial harus berkesinambungan dan programnya selalu tersedia agar setiap saat peserta didik dapat mengaksesnya sesuai dengan kesempatan masing-masing.
C. Bentuk Kegiatan Remedial
Dengan memperhatikan pengertian dan prinsip pembelajaran remedial tersebut, maka pembelajaran remedial dapat diselenggarakan dengan berbagai kegiatan antara lain:
1. Memberikan tambahan penjelasan atau contoh
Peserta didik kadang-kadang mengalami kesulitan memahami penyampaian materi pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang disajikan hanya sekali, apalagi kurang ilustrasi dan contoh. Pemberian tambahan ilustrasi, contoh dan bukan contoh untuk pembelajaran konsep misalnya akan membantu pembentukan konsep pada diri peserta didik.
2. Menggunakan strategi pembelajaran yang berbeda dengan sebelumnya
Penggunaan alternatif berbagai strategi pembelajaran akan memungkinkan peserta didik dapat mengatasi masalah pembelajaran yang dihadapi.
3. Mengkaji ulang pembelajaran yang lalu.
Penerapan prinsip pengulangan dalam pembelajaran akan membantu peserta didik menangkap pesan pembelajaran. Pengulangan dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan media yang sama atau metode dan media yang berbeda.
4. Menggunakan berbagai jenis media
Penggunaan berbagai jenis media dapat menarik perhatian peserta didik. Perhatian memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Semakin memperhatikan, hasil belajar akan lebih baik. Namun peserta didik seringkali mengalami kesulitan untuk memperhatikan atau berkonsentrasi dalam waktu yang lama. Agar perhatian peserta didik terkonsentrasi pada materi pelajaran perlu digunakan berbagai media untuk mengendalikan perhatian peserta didik.
D. Bentuk Pelaksanaan Pembelajaran Remedial
Setelah diketahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, langkah berikutnya adalah memberikan perlakuan berupa pembelajaran remedial. Bentuk-bentuk pelaksanaan pembelajaran remedial antara lain:
1. Pemberian pembelajaran ulang dengan metode dan media yang berbeda. Pembelajaran ulang dapat disampaikan dengan cara penyederhanaan materi, variasi cara penyajian, penyederhanaan tes/pertanyaan. Pembelajaran ulang dilakukan bilamana sebagian besar atau semua peserta didik belum mencapai ketuntasan belajar atau mengalami kesulitan belajar. Pendidik perlu memberikan penjelasan kembali dengan menggunakan metode dan/atau media yang lebih tepat.
2. Pemberian bimbingan secara khusus, misalnya bimbingan perorangan. Dalam hal pembelajaran klasikal peserta didik mengalami kesulitan, perlu dipilih alternatif tindak lanjut berupa pemberian bimbingan secara individual. Pemberian bimbingan perorangan merupakan implikasi peran pendidik sebagai tutor. Sistem tutorial dilaksanakan bilamana terdapat satu atau beberapa peserta didik yang belum berhasil mencapai ketuntasan.
3. Pemberian tugas-tugas latihan secara khusus.
Dalam rangka menerapkan prinsip pengulangan, tugas-tugas latihan perlu diperbanyak agar peserta didik tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan tes akhir. Peserta didik perlu diberi latihan intensif (drill) untuk membantu menguasai kompetensi yang ditetapkan.
4. Pemanfaatan tutor sebaya.
Tutor sebaya adalah teman sekelas yang memiliki kecepatan belajar lebih. Mereka perlu dimanfaatkan untuk memberikan tutorial kepada rekannya yang mengalami kelambatan belajar. Dengan teman sebaya diharapkan peserta didik yang mengalami kesulitan belajar akan lebih terbuka dan akrab.
Hasil belajar yang menunjukkan tingkat pencapaian kompetensi melalui penilaian diperoleh dari penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses diperoleh melalui postes, tes kinerja, observasi dan lain-lain. Sedangkan penilaian hasil diperoleh melalui ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester.
Jika peserta didik tidak lulus karena penilaian hasil maka sebaiknya hanya mengulang tes tersebut dengan pembelajaran ulang jika diperlukan. Namun apabila ketidaklulusan akibat penilaian proses yang tidak diikuti (misalnya kinerja praktik, diskusi/presentasi kelompok) maka sebaiknya peserta didik mengulang semua proses yang harus diikuti.
E. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran Remedial
Terdapat beberapa alternatif berkenaan dengan waktu atau kapan pembelajaran remedial dilaksanakan. Pertanyaan yang timbul, apakah pembelajaran remedial diberikan pada setiap akhir ulangan harian, mingguan, akhir bulan, tengah semester, atau akhir semester. Ataukah pembelajaran remedial itu diberikan setelah peserta didik mempelajari SK atau KD tertentu? Pembelajaran remedial dapat diberikan setelah peserta didik mempelajari KD tertentu. Namun karena dalam setiap SK terdapat beberapa KD, maka terlalu sulit bagi pendidik untuk melaksanakan pembelajaran remedial setiap selesai mempelajari KD tertentu. Mengingat indikator keberhasilan belajar peserta didik adalah tingkat ketuntasan dalam mencapai SK yang terdiri dari beberapa KD, maka pembelajaran remedial dapat juga diberikan setelah peserta didik menempuh tes SK yang terdiri dari beberapa KD. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa SK merupakan satu kebulatan kemampuan yang terdiri dari beberapa KD. Mereka yang belum mencapai penguasaan SK tertentu perlu mengikuti program pembelajaran remedial.
Tes Ulang
Tes ulang diberikan kepada peserta didik yang telah mengikuti program pembelajaran remedial agar dapat diketahui apakah peserta didik telah mencapai ketuntasan dalam penguasaan kompetensi yang telah ditentukan.
Nilai Hasil Remedial
Nilai hasil remedial tidak melebihi nilai KKM.
BERPIKIR SISTEMIK DALAM PEMBELAJARAN
Oleh : Drs. Abdul Jalil Machmud, M.Pd.I
A. Pendahuluan
Sistem adalah suatu konsep yang abstrak. Definisi yang umum menyatakan bahwa sistem adalah seperangkat komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Rumusan ini sangat sulit dipahami, dalam artian yang luas suatu pengertian system muncul karena seseorang telah mendefensikannya demikian. Kesimpulan yang umum dapat dinyatakan sebagai berikut : misalnya sepeda adalah suatu system, yang meliputi komponen-komponen seperti roda, pedal, kemudi dan sebagainya, akan tetapi dalam artian yang luas, sepeda sebenarnya adalah suatu subsistem/komponen dalam sistem trasmportasi, disamping alat-alat transportasi yang lainnya, seperti mobil, motor, angkutan kota dan sebagainya.
Berpikir sistemik adalah suatu pendekatan dari metode ilmiah, ini merupakan sistesis pemecahan masalah yang berhasil dan telah banyak digunakan orang pada bermacam-macam ilmu pengetahuan.
Menurut Roestiyah, NK Pendekatan sistemik dalam pembelajaran bertujuan agar kita dapat mengerti masalah pembelajaran sebagai suatu keseluruhan secara tuntas dan dapat mendalamai pula bagian-bagiannya. Diharapkan pula dengan berpikir sistemik dalam pembelajaran kita dapat memahami pula cara bagaimana masing-masing itu saling berinteraksi, saling berfungsi dan saling bergantung didalam suatu sistem untuk mencapai tujuan tertentu.
Jadi suatu sistem dapat saja menjadi suatu sistem yang lebih kompleks, yang berarti bahwa kita yang mempertimbangkannya sebagai system, dan kita sendiri yang menentukan batas-batas dari system itu sendiri.
Konsep diatas menjai dasar untuk mengidentifikasi tujuan suatu system, tujuan suatu system dapat bersifat alami dan bersifat manusiawi. Tujuan yang alami tidak mungkin menjadi tujuan yang tinggi tingkatanya, bahkan mungkin bernilai sangat rendah. Tujuan system yang bersifat manusiawi (man-made) senantiasa dapat berubah, yang dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan lingkungan yang senantiasa berubah, akibat perubahan lingkungan atau karena tujuan itu bersifat perorangan (personal). Pada dasarnya perubahan tujuan system adalah sebagai jawaban terhadap perubahan-perubahan dalam lingkungan.
Untuk mengetahui kemampuan suatu sistem, kita tidak perlu mengetahui secara rinci proses yang terjadi. Kita dapat mengetahuinya melalui kontrol terhadap output dan melalui sistem umpan balik (feedback). Misalnya seorang Menteri Pendidikan Nasional ingin mengetahui apakah sistem pendidikan yang dilaksanakan dapat diandalkan dalam rangka mempersiapkan generasi muda menjadi calon warga negara yang baik, produktif dan sebagainya. Untuk itu pak Menteri tidak perlu mengetahui secara rinci apa-apa yang terjadi dalam proses pendidikan di sekolah, tetapi pak Menteri dapat melihat keampuhan sistem pendidikan Nasional berdasarkan produk atau output yang telah dicapai.
Konsep berpikir kesisteman ini perlu dikaji lebih dalam terutama dalam bidang pendidikan dan pengajaran sebagai wujud kepedulian para pendidik dan mereka yang peduli terhadap dunia pendidikan agar tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 dapat terwujud. Untuk itu penulis mencoba mengangkat permasalahan tersebut yang tertuang dalam makalah yang berjudul : BERPIKIR SISTEMIK DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH.
B. Pendekatan Sistemik dalam Pembelajaran di Sekolah
1. Konsep Pendekatan Sistem dalam pembelajaran
Konsep pendekatan sistem mulanya digunakan dalam bidang teknik untuk mendesain sistem elektronik, mekanik dan militer. Dalam hal ini pendekatan sistem melibatkan sistem manusia dan mesin dan selanjutnya dilaksanakan dalam bidang keorganisasian dan manajemen. Pada akhir tahun 1950 dan awal 1960-an pendekatan sistem mulai digunakan dalam bidang latihan dan pendidikan (merumuskan masalah), analisis kebutuhan dengan maksud mentransformasi kannya menjadi tujuan-tujuan (analisis masalah), desain metode dan materi intruksional (pengembangan suatu pemecahan masalah), pelaksanaan secara eksperimental, dan akhirnya menilai dan merevisi.
Menurut Oemar Hamalik konsep diatas sebenarnya merupakan cara penjelasan pendekatan sistem yang kurang efektif karena memberikan kesan seolah-olah prosesnya linear yang selangkah demi selangkah harus diselesaikan lebih dulu sebelum melaksanakn langkah berikutnya. Padahal kenyataannya tidak demikian, karena pemecahan masalah terkadang melibatkan lompatan-lompatan kedepan yang berdasar pada pemahaman seketika. Karena harus dilengkapi dengan panah-panah dari kotak satu ke kotak lainnya, atau ke depan dan belakang, ini mengakibatkan bagan itu menjadi sulit untuk untuk dibaca.
Selain itu bagan tersebut memberikan kesan bahwa prosedur berjalan secara mekanistik, mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan pada setiap langkah sebagaimana prosedur dalam komputer. Padahal setiap langkah tidak mengatur semua kejadian tetapi merupakan petunjuk berpikir dan bukan merupakan proses berpikir.
Roestiyah, NK menguraikan suatu sistem pada dasarnya mengandung 3 (tiga) aspek yaitu :
(a) tujuan
(b) Isi dan
(c) Proses
(a) Sistem itu mempunyai tujuan
Sistem dibangun dari bagian-bagian atau komponen dan sejumlah komponen itu adalah isi dari sistem.
(b) Isi sistem disusun untuk mencapai suatu tujuan
(c) Operasi dan fungsi komponen itu dihubungkan dalam instruksi untuk mencapai tujuan sistem, itulah yang disebut proses sistem.
Suatu sistem dapat diidentifikasikan oleh tujuannya. Tujuan menjelaskan pada kita apa yang harus dikerjakan, tujuan menentukan pula proses apa yang harus ditempatkan.
2. Sistem Pembelajaran di sekolah
Pengertian dari sistem pembelajaran adalah suatu kombinasi terorganisasi yang meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.
Sesuai dengan rumusan tersebut maka unsur manusia yang terlibat dalam sistem pembelajaran tersebut adalah siswa, pengajar (guru), dan tenaga kependidikan lainnya.
Sedangkan unsur material meliputi buku-buku, papan tulis, kapur/spidol, fotografi, slide, film, audio dan video tape (lebih umum disebut media pendidikan). Fasilitas dan perlengkapan terdiri dari ruang kelas, perlengkapan audiovisual bahkan juga komputer. Lebih lanjut komponen unsur material ini bisa juga disebut sebagai sumber belajar. Menurut Ahmad Rohani sumber belajar (learning resourses) adalah segala macam sumber yang ada diluar diri seseorang (peserta didik) dan yang memungkinkan (memudahkan) terjadinya proses belajar.
Sumber belajar inilah yang memungkinkan peserta didik (siswa) berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak trampil menjadi trampil. Dan dari sumber-sumber belajar itu pula siswa bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela. Dengan cakupan yang lebih luas sumber belajar adalah pengalaman-pengalaman yang sangat luas, yakni seluas kehidupan yang mencakup segala sesuatu yang dapat dialami dan dapat menimbulkan proses belajar, yakni adanay perubahan tingkah laku ke arah yang lebih sempurna sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
Menurut Roestiyah, NK , sumber belajar itu meliputi :
a. Manusia (dalam keluarga, sekolah dan masyarakat)
b. Buku/perpustakaan
c. Mass media
d. Lingkungan
e. Alat pelajaran (buku, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis, kapur, spidol dll)
f. Museum
Sedangkan menurut Sudirman,N, dkk , bahwa macam-macam sumber belajar itu adalah :
a. Manusia
b. Bahan (materials)
c. Lingkungan (setting)
d. Alat dan perlengkapan
e. Aktivitas yang meliputi :
1. Pengajaran berprogram
2. simulasi
3. karyawisata
4. sistem pengajaran modul
Prosedur meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, penyediaan waktu untuk praktek, belajar, pengetesan/ujian dan penentuan tingkat kebaikan kelas/kelulusan.
Secara umum sistem pembelajaran di sekolah senantiasa ditandai oleh organisasi dan interaksi antar komponen untuk mendidik siswa belajar, sesuai dengan tujuan utama dari sistem pembelajaran yakni siswa yang belajar. Sebagai unsur utama dalam sistem pembelajaran, siswa harus diarahkan agar dapat belajar dengan efektif dan efisien. Oleh karenanya tugas seorang perancang (designer) sistem pembelajaran (baca:guru) adalah bagaimana mengorganisasi manusia, material dan prosedur agar dapat berinteraksi secara optimal (sebagai suatu sistem) dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran di sekolah.
Selain itu dalam rangka mendesain sistem pembelajaran di sekolah yang efektif dan efisien serta dapat diserap oleh siswa didik secara maksimal, maka guru sebagai designer harus mampu menyusun pola pembelajaran secara sistematis, yang dapat melukiskan strategi pembelajaran secara utuh.
Selengkapnya sistem pembelajaran menurut Syaiful Bahri Djamarah meliputi komponen-komponen : tujuan, bahan pelajaran (substansi), kegiatan belajar mengajar (proses), metode (cara), alat dan sumber belajar serta evaluasi.
Pada komponen tujuan, merupakan cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan sistem pembelajaran yang biasanya berisi deskripsi tentang penampilan prilaku (performance) murid-murid yang diharapkan setelah mempelajari bahan pelajaran yang diberikan. Komponen bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan. Komponen kegiatan belajar mengajar adalah inti dari kegiatan pendidikan atau yang disebut proses belajar mengajar yang melibatkan semua komponen pengajaran. Komponen metode merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, biasanya metode yang bervariasi dan tepat penggunaannya akan lebih mudah pencapaian tujuan pembelajaran. Komponen alat dan sumber belajar merupakan sesuatu yang dapat digunakan sebagai perlengkapan dan sarana belajar yang diperlukan dalam rangka mempermudah usaha mencapai tujuan. Pada komponen evaluasi dimaksudkan sebagai suatu tindakan atau proses untuk penentuan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan, biasanya evaluasi ini diarahkan pada 2 dimensi yaitu evaluasi proses dan evaluasi produk. Evaluasi proses diarahkan untuk menilai bagaimana pelaksanaan pembelajaran itu dilakukan, sedangkan evaluasi produk diarahkan kepada bagaimana hasil2 belajar yang telah dilakukan terkait dengan penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran.
3. Strategi disain sistem pembelajaran
Strategi sistem pembelajaran ialah suatu perencanaan untuk menggunakan prosedur disain agar lebih efektif. Prosedue disain melukiskan bagaimana cara memilih dan mengorganisasikan komponen-komponen dalam sistem pembelajaran. Tetapi karena proses disain adalah hal yang sangat kompleks, maka kita harus mempunyai suatus strategi disain yang akan menolong seorang desainer (baca:guru/dosen) untuk mengevaluasi semua alternatif yang penting dan sampai pada kesimpulan bahwa pencapaian tujuan sistem itu lebih efisien.
Pada dasarnya suatu disain sistem terdiri dari tiga tahap :
(a) analisis kebutuhan sistem pembelajaran
(b) mendisain sistem pembelajaran
(c) mengevaluasi sistem pembelajaran secara efektif
Dalam menganalisa kebutuhan sistem pembelajaran, terdapat 2 masalah sistem yang dikhususkan : pertama, bagaimana kita dapat melukiskan tujuan dari sistem pembelajaran dan kedua, bagaimana kita dapat melukiskan kegunaan/manfaat dan hambatan-hambatan yang ada sehingga ada kemungkinan bertentangan dengan tujuan yang akan dicapai dalam sistem pembelajaran tersebut. Dengan memikirkan tujuan, sumber dan hambatan-hambatan secara bersama-sama, maka seorang disainer dalam posisi ini juga mengevaluasi semua kemungkinan komponen sistem dan metode untuk mengorganisasikannya. Dalam tahap mendisain sistem pembelajaran, seorang disainer menyeleksi dan menyusun komponen-komponen yang utama dan prosedurnya, yang akan digunakan dalam suatu sistem dan mencoba melaksanakan sistem pembelajaran itu.
Dalam tahap evaluasi disainer membandingkan penampilan aktif dari sistem pembelajaran dengan penampilan dalam perencanaan. Sistem itu boleh menjadi redisain tergantung pada perluasan perbedaan antara perencanaan penampilan aktif dari sistem gambar dibawah ini akan melukiskan 3 tahap dari strategi disainer sistem pembelajaran.
Prosedur kedua tahap dari ketiganya dalam perencanaan disain sistem itu ialah tercakup dalam masalah tujuan belajar, diskripsi tentang tugas, tipe-tipe belajar dan analisa tugas. Dalam masalah itu diperlihatkan bagaimana mengidentifikasikan dan menyeleksi tujuan belajar, dan bagaimana memilih dan mengurutkan bahan pelajaran itu. Kemudian disainer harus menunjukkan pula bagaimana cara menyeleksi dan mengorganisasikan pembelajaran siswa secara maksimal. Prosedur dalam tahap disain ini disebut evaluasi sistem yang efektif.
Bila ditinjau dari konsep pendidikan Islam, sistem pembelajaran dapat kita jumpai pada wahyu pertama QS.Al Alaq : 1-5, dalam kelima ayat tersebut jelas mengandung pesan yang dapat ditafsirkan sebagai sistem pendidikan dan pengajaran. Pada ayat tersebut sekurang-kurangnya terdapat lima 5 komponen pendidikan :
(1) komponen guru (yaitu Allah, SWT) karena Dia-lah yang memerintahkan membaca kepada Nabi Muhammad SAW.
(2) komponen murid (Nabi Muhammad SAW) yang diperintah untuk membaca yang bisa diartikan secara luas termasuk mengobservasi, mengklasifikasi,membandingkan, mengukur, menganalisa, menyimpulkan dan sebagainya.
(3) komponen metode, yaitu membaca (iqro’) sehingga ada istilah metode iqro’
(4) komponen sarana-prasarana (diwakili kata qalam) dalam arti yang seluas-luasnya termasuk alat tulis, alat hitung, alat rekam dan alat/sarana prasarana lainnya.
(5) komponen kurikulum (‘allamal insana maa lam ya’lam), yang tidak hanya terbatas pada sejumlah mata pelajaran, tetapi mencakup pula berbagai sumber belajar yang berada dilingkungan sekolah dan masyarakat sepanjang hal itu belum diketahui manusia dan dibutuhkannya.
Dari analisa sederhana diatas, jelaslah bahwa al Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam sangat menaruh perhatian yang besar terhadap sistem pembelajaran.
C. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa berpikir sistemik dalam pembelajaran adalah proses berpikir yang didasarkan pada masalah pembelajaran sebagai suatu keseluruhan secara tuntas dan dapat mendalami pula bagian-bagiannya.
Setidaknya ada 3 hal uang utama dalam sistem pembelajaran yaitu : memiliki tujuan (dalam UU SPN disebut sebagai standar Kompetensi lulusan), memiliki Isi yang dirancang untuk memenuhi kewajiban dan beban belajar, serta ada Proses yang berjalan dalam rangka mencapai tujuan sistem pembelajaran.
Sistem pembelajaran adalah suatu kombinasi terorganisasi yang meliputi unsur-unsur manusia, material (fasilitas, perlengkapan) dan prosedur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.
BAHAN BACAAN
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, Grasindo, Jakarta, 2001
Ahmad Rohani, Media Instruksional Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta
Roestiyah, NK, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, Bina Aksara, Jakarta, 1982
Roestiyah, NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Bina Aksara Jakarta, 1989
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta,1996
Sudirman,N,dkk, Ilmu Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung, Cet. V, 1991
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, Bumi Aksara, 2003
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah Propinsi Lampung, 2004
A. Pendahuluan
Sistem adalah suatu konsep yang abstrak. Definisi yang umum menyatakan bahwa sistem adalah seperangkat komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Rumusan ini sangat sulit dipahami, dalam artian yang luas suatu pengertian system muncul karena seseorang telah mendefensikannya demikian. Kesimpulan yang umum dapat dinyatakan sebagai berikut : misalnya sepeda adalah suatu system, yang meliputi komponen-komponen seperti roda, pedal, kemudi dan sebagainya, akan tetapi dalam artian yang luas, sepeda sebenarnya adalah suatu subsistem/komponen dalam sistem trasmportasi, disamping alat-alat transportasi yang lainnya, seperti mobil, motor, angkutan kota dan sebagainya.
Berpikir sistemik adalah suatu pendekatan dari metode ilmiah, ini merupakan sistesis pemecahan masalah yang berhasil dan telah banyak digunakan orang pada bermacam-macam ilmu pengetahuan.
Menurut Roestiyah, NK Pendekatan sistemik dalam pembelajaran bertujuan agar kita dapat mengerti masalah pembelajaran sebagai suatu keseluruhan secara tuntas dan dapat mendalamai pula bagian-bagiannya. Diharapkan pula dengan berpikir sistemik dalam pembelajaran kita dapat memahami pula cara bagaimana masing-masing itu saling berinteraksi, saling berfungsi dan saling bergantung didalam suatu sistem untuk mencapai tujuan tertentu.
Jadi suatu sistem dapat saja menjadi suatu sistem yang lebih kompleks, yang berarti bahwa kita yang mempertimbangkannya sebagai system, dan kita sendiri yang menentukan batas-batas dari system itu sendiri.
Konsep diatas menjai dasar untuk mengidentifikasi tujuan suatu system, tujuan suatu system dapat bersifat alami dan bersifat manusiawi. Tujuan yang alami tidak mungkin menjadi tujuan yang tinggi tingkatanya, bahkan mungkin bernilai sangat rendah. Tujuan system yang bersifat manusiawi (man-made) senantiasa dapat berubah, yang dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan lingkungan yang senantiasa berubah, akibat perubahan lingkungan atau karena tujuan itu bersifat perorangan (personal). Pada dasarnya perubahan tujuan system adalah sebagai jawaban terhadap perubahan-perubahan dalam lingkungan.
Untuk mengetahui kemampuan suatu sistem, kita tidak perlu mengetahui secara rinci proses yang terjadi. Kita dapat mengetahuinya melalui kontrol terhadap output dan melalui sistem umpan balik (feedback). Misalnya seorang Menteri Pendidikan Nasional ingin mengetahui apakah sistem pendidikan yang dilaksanakan dapat diandalkan dalam rangka mempersiapkan generasi muda menjadi calon warga negara yang baik, produktif dan sebagainya. Untuk itu pak Menteri tidak perlu mengetahui secara rinci apa-apa yang terjadi dalam proses pendidikan di sekolah, tetapi pak Menteri dapat melihat keampuhan sistem pendidikan Nasional berdasarkan produk atau output yang telah dicapai.
Konsep berpikir kesisteman ini perlu dikaji lebih dalam terutama dalam bidang pendidikan dan pengajaran sebagai wujud kepedulian para pendidik dan mereka yang peduli terhadap dunia pendidikan agar tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 dapat terwujud. Untuk itu penulis mencoba mengangkat permasalahan tersebut yang tertuang dalam makalah yang berjudul : BERPIKIR SISTEMIK DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH.
B. Pendekatan Sistemik dalam Pembelajaran di Sekolah
1. Konsep Pendekatan Sistem dalam pembelajaran
Konsep pendekatan sistem mulanya digunakan dalam bidang teknik untuk mendesain sistem elektronik, mekanik dan militer. Dalam hal ini pendekatan sistem melibatkan sistem manusia dan mesin dan selanjutnya dilaksanakan dalam bidang keorganisasian dan manajemen. Pada akhir tahun 1950 dan awal 1960-an pendekatan sistem mulai digunakan dalam bidang latihan dan pendidikan (merumuskan masalah), analisis kebutuhan dengan maksud mentransformasi kannya menjadi tujuan-tujuan (analisis masalah), desain metode dan materi intruksional (pengembangan suatu pemecahan masalah), pelaksanaan secara eksperimental, dan akhirnya menilai dan merevisi.
Menurut Oemar Hamalik konsep diatas sebenarnya merupakan cara penjelasan pendekatan sistem yang kurang efektif karena memberikan kesan seolah-olah prosesnya linear yang selangkah demi selangkah harus diselesaikan lebih dulu sebelum melaksanakn langkah berikutnya. Padahal kenyataannya tidak demikian, karena pemecahan masalah terkadang melibatkan lompatan-lompatan kedepan yang berdasar pada pemahaman seketika. Karena harus dilengkapi dengan panah-panah dari kotak satu ke kotak lainnya, atau ke depan dan belakang, ini mengakibatkan bagan itu menjadi sulit untuk untuk dibaca.
Selain itu bagan tersebut memberikan kesan bahwa prosedur berjalan secara mekanistik, mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan pada setiap langkah sebagaimana prosedur dalam komputer. Padahal setiap langkah tidak mengatur semua kejadian tetapi merupakan petunjuk berpikir dan bukan merupakan proses berpikir.
Roestiyah, NK menguraikan suatu sistem pada dasarnya mengandung 3 (tiga) aspek yaitu :
(a) tujuan
(b) Isi dan
(c) Proses
(a) Sistem itu mempunyai tujuan
Sistem dibangun dari bagian-bagian atau komponen dan sejumlah komponen itu adalah isi dari sistem.
(b) Isi sistem disusun untuk mencapai suatu tujuan
(c) Operasi dan fungsi komponen itu dihubungkan dalam instruksi untuk mencapai tujuan sistem, itulah yang disebut proses sistem.
Suatu sistem dapat diidentifikasikan oleh tujuannya. Tujuan menjelaskan pada kita apa yang harus dikerjakan, tujuan menentukan pula proses apa yang harus ditempatkan.
2. Sistem Pembelajaran di sekolah
Pengertian dari sistem pembelajaran adalah suatu kombinasi terorganisasi yang meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.
Sesuai dengan rumusan tersebut maka unsur manusia yang terlibat dalam sistem pembelajaran tersebut adalah siswa, pengajar (guru), dan tenaga kependidikan lainnya.
Sedangkan unsur material meliputi buku-buku, papan tulis, kapur/spidol, fotografi, slide, film, audio dan video tape (lebih umum disebut media pendidikan). Fasilitas dan perlengkapan terdiri dari ruang kelas, perlengkapan audiovisual bahkan juga komputer. Lebih lanjut komponen unsur material ini bisa juga disebut sebagai sumber belajar. Menurut Ahmad Rohani sumber belajar (learning resourses) adalah segala macam sumber yang ada diluar diri seseorang (peserta didik) dan yang memungkinkan (memudahkan) terjadinya proses belajar.
Sumber belajar inilah yang memungkinkan peserta didik (siswa) berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak trampil menjadi trampil. Dan dari sumber-sumber belajar itu pula siswa bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela. Dengan cakupan yang lebih luas sumber belajar adalah pengalaman-pengalaman yang sangat luas, yakni seluas kehidupan yang mencakup segala sesuatu yang dapat dialami dan dapat menimbulkan proses belajar, yakni adanay perubahan tingkah laku ke arah yang lebih sempurna sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
Menurut Roestiyah, NK , sumber belajar itu meliputi :
a. Manusia (dalam keluarga, sekolah dan masyarakat)
b. Buku/perpustakaan
c. Mass media
d. Lingkungan
e. Alat pelajaran (buku, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis, kapur, spidol dll)
f. Museum
Sedangkan menurut Sudirman,N, dkk , bahwa macam-macam sumber belajar itu adalah :
a. Manusia
b. Bahan (materials)
c. Lingkungan (setting)
d. Alat dan perlengkapan
e. Aktivitas yang meliputi :
1. Pengajaran berprogram
2. simulasi
3. karyawisata
4. sistem pengajaran modul
Prosedur meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, penyediaan waktu untuk praktek, belajar, pengetesan/ujian dan penentuan tingkat kebaikan kelas/kelulusan.
Secara umum sistem pembelajaran di sekolah senantiasa ditandai oleh organisasi dan interaksi antar komponen untuk mendidik siswa belajar, sesuai dengan tujuan utama dari sistem pembelajaran yakni siswa yang belajar. Sebagai unsur utama dalam sistem pembelajaran, siswa harus diarahkan agar dapat belajar dengan efektif dan efisien. Oleh karenanya tugas seorang perancang (designer) sistem pembelajaran (baca:guru) adalah bagaimana mengorganisasi manusia, material dan prosedur agar dapat berinteraksi secara optimal (sebagai suatu sistem) dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran di sekolah.
Selain itu dalam rangka mendesain sistem pembelajaran di sekolah yang efektif dan efisien serta dapat diserap oleh siswa didik secara maksimal, maka guru sebagai designer harus mampu menyusun pola pembelajaran secara sistematis, yang dapat melukiskan strategi pembelajaran secara utuh.
Selengkapnya sistem pembelajaran menurut Syaiful Bahri Djamarah meliputi komponen-komponen : tujuan, bahan pelajaran (substansi), kegiatan belajar mengajar (proses), metode (cara), alat dan sumber belajar serta evaluasi.
Pada komponen tujuan, merupakan cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan sistem pembelajaran yang biasanya berisi deskripsi tentang penampilan prilaku (performance) murid-murid yang diharapkan setelah mempelajari bahan pelajaran yang diberikan. Komponen bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan. Komponen kegiatan belajar mengajar adalah inti dari kegiatan pendidikan atau yang disebut proses belajar mengajar yang melibatkan semua komponen pengajaran. Komponen metode merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, biasanya metode yang bervariasi dan tepat penggunaannya akan lebih mudah pencapaian tujuan pembelajaran. Komponen alat dan sumber belajar merupakan sesuatu yang dapat digunakan sebagai perlengkapan dan sarana belajar yang diperlukan dalam rangka mempermudah usaha mencapai tujuan. Pada komponen evaluasi dimaksudkan sebagai suatu tindakan atau proses untuk penentuan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan, biasanya evaluasi ini diarahkan pada 2 dimensi yaitu evaluasi proses dan evaluasi produk. Evaluasi proses diarahkan untuk menilai bagaimana pelaksanaan pembelajaran itu dilakukan, sedangkan evaluasi produk diarahkan kepada bagaimana hasil2 belajar yang telah dilakukan terkait dengan penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran.
3. Strategi disain sistem pembelajaran
Strategi sistem pembelajaran ialah suatu perencanaan untuk menggunakan prosedur disain agar lebih efektif. Prosedue disain melukiskan bagaimana cara memilih dan mengorganisasikan komponen-komponen dalam sistem pembelajaran. Tetapi karena proses disain adalah hal yang sangat kompleks, maka kita harus mempunyai suatus strategi disain yang akan menolong seorang desainer (baca:guru/dosen) untuk mengevaluasi semua alternatif yang penting dan sampai pada kesimpulan bahwa pencapaian tujuan sistem itu lebih efisien.
Pada dasarnya suatu disain sistem terdiri dari tiga tahap :
(a) analisis kebutuhan sistem pembelajaran
(b) mendisain sistem pembelajaran
(c) mengevaluasi sistem pembelajaran secara efektif
Dalam menganalisa kebutuhan sistem pembelajaran, terdapat 2 masalah sistem yang dikhususkan : pertama, bagaimana kita dapat melukiskan tujuan dari sistem pembelajaran dan kedua, bagaimana kita dapat melukiskan kegunaan/manfaat dan hambatan-hambatan yang ada sehingga ada kemungkinan bertentangan dengan tujuan yang akan dicapai dalam sistem pembelajaran tersebut. Dengan memikirkan tujuan, sumber dan hambatan-hambatan secara bersama-sama, maka seorang disainer dalam posisi ini juga mengevaluasi semua kemungkinan komponen sistem dan metode untuk mengorganisasikannya. Dalam tahap mendisain sistem pembelajaran, seorang disainer menyeleksi dan menyusun komponen-komponen yang utama dan prosedurnya, yang akan digunakan dalam suatu sistem dan mencoba melaksanakan sistem pembelajaran itu.
Dalam tahap evaluasi disainer membandingkan penampilan aktif dari sistem pembelajaran dengan penampilan dalam perencanaan. Sistem itu boleh menjadi redisain tergantung pada perluasan perbedaan antara perencanaan penampilan aktif dari sistem gambar dibawah ini akan melukiskan 3 tahap dari strategi disainer sistem pembelajaran.
Prosedur kedua tahap dari ketiganya dalam perencanaan disain sistem itu ialah tercakup dalam masalah tujuan belajar, diskripsi tentang tugas, tipe-tipe belajar dan analisa tugas. Dalam masalah itu diperlihatkan bagaimana mengidentifikasikan dan menyeleksi tujuan belajar, dan bagaimana memilih dan mengurutkan bahan pelajaran itu. Kemudian disainer harus menunjukkan pula bagaimana cara menyeleksi dan mengorganisasikan pembelajaran siswa secara maksimal. Prosedur dalam tahap disain ini disebut evaluasi sistem yang efektif.
Bila ditinjau dari konsep pendidikan Islam, sistem pembelajaran dapat kita jumpai pada wahyu pertama QS.Al Alaq : 1-5, dalam kelima ayat tersebut jelas mengandung pesan yang dapat ditafsirkan sebagai sistem pendidikan dan pengajaran. Pada ayat tersebut sekurang-kurangnya terdapat lima 5 komponen pendidikan :
(1) komponen guru (yaitu Allah, SWT) karena Dia-lah yang memerintahkan membaca kepada Nabi Muhammad SAW.
(2) komponen murid (Nabi Muhammad SAW) yang diperintah untuk membaca yang bisa diartikan secara luas termasuk mengobservasi, mengklasifikasi,membandingkan, mengukur, menganalisa, menyimpulkan dan sebagainya.
(3) komponen metode, yaitu membaca (iqro’) sehingga ada istilah metode iqro’
(4) komponen sarana-prasarana (diwakili kata qalam) dalam arti yang seluas-luasnya termasuk alat tulis, alat hitung, alat rekam dan alat/sarana prasarana lainnya.
(5) komponen kurikulum (‘allamal insana maa lam ya’lam), yang tidak hanya terbatas pada sejumlah mata pelajaran, tetapi mencakup pula berbagai sumber belajar yang berada dilingkungan sekolah dan masyarakat sepanjang hal itu belum diketahui manusia dan dibutuhkannya.
Dari analisa sederhana diatas, jelaslah bahwa al Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam sangat menaruh perhatian yang besar terhadap sistem pembelajaran.
C. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa berpikir sistemik dalam pembelajaran adalah proses berpikir yang didasarkan pada masalah pembelajaran sebagai suatu keseluruhan secara tuntas dan dapat mendalami pula bagian-bagiannya.
Setidaknya ada 3 hal uang utama dalam sistem pembelajaran yaitu : memiliki tujuan (dalam UU SPN disebut sebagai standar Kompetensi lulusan), memiliki Isi yang dirancang untuk memenuhi kewajiban dan beban belajar, serta ada Proses yang berjalan dalam rangka mencapai tujuan sistem pembelajaran.
Sistem pembelajaran adalah suatu kombinasi terorganisasi yang meliputi unsur-unsur manusia, material (fasilitas, perlengkapan) dan prosedur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.
BAHAN BACAAN
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, Grasindo, Jakarta, 2001
Ahmad Rohani, Media Instruksional Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta
Roestiyah, NK, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, Bina Aksara, Jakarta, 1982
Roestiyah, NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Bina Aksara Jakarta, 1989
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta,1996
Sudirman,N,dkk, Ilmu Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung, Cet. V, 1991
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, Bumi Aksara, 2003
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah Propinsi Lampung, 2004
Komponen Kurikulum
Oleh : Drs. A. Jalil Machmud, M.Pd.I
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
A. . Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :
1. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS
• Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
• Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
• Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
• Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
2. Tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA
• Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan negara
• Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi
• Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara
• Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional
3. Tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MAK
• Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat
• Berwirausaha dalam bidangnya
• Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya
• Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.
4. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MAK
• Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
• Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
• Berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
• Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang.
B. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel..
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.
C. Strategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
D. Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.
E. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.
Sumber Bacaan :
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Model Pelatihan dan Pengembangan Silabus; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Pengelolaan Kurikulum di Tingkat Sekolah; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
A. . Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :
1. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS
• Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
• Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
• Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
• Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
2. Tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA
• Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan negara
• Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi
• Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara
• Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional
3. Tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MAK
• Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat
• Berwirausaha dalam bidangnya
• Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya
• Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.
4. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MAK
• Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
• Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
• Berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
• Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang.
B. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel..
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.
C. Strategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
D. Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.
E. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.
Sumber Bacaan :
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Model Pelatihan dan Pengembangan Silabus; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Pengelolaan Kurikulum di Tingkat Sekolah; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Langganan:
Postingan (Atom)